Lihat ke Halaman Asli

Penerapan Sanksi Pidana bagi Pelaku Usaha yang tidak menjaga kualitas Halal Produknya

Diperbarui: 19 Juni 2025   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menjadikan jaminan produk halal sebagai isu hukum dan sosial yang sangat signifikan. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPPH) hadir sebagai landasan hukum utama yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada konsumen Muslim terkait status kehalalan produk. Undang-undang ini mewajibkan sertifikasi halal untuk produk yang beredar di Indonesia, mencerminkan betapa pentingnya aspek halal dalam kehidupan sehari-hari mayoritas penduduk. Sifat wajib sertifikasi halal berdasarkan UU JPPH menunjukkan intervensi negara yang kuat dalam mengatur aspek keagamaan dalam konsumsi, yang berpotensi membawa implikasi bagi komunitas Muslim dan non-Muslim serta pelaku usaha. Besarnya populasi Muslim di Indonesia menciptakan permintaan yang substansial terhadap produk halal. Keputusan pemerintah untuk mewajibkan sertifikasi mengindikasikan komitmen untuk memenuhi permintaan ini dan berpotensi memposisikan Indonesia sebagai pusat global industri halal. Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan mengenai universalitas peraturan tersebut dalam masyarakat yang beragam.
Laporan ini bertujuan untuk memberikan analisis yuridis yang komprehensif terhadap ketentuan pertanggungjawaban pidana dalam UU JPPH, dengan fokus khusus pada Pasal 56 dan 57. Kajian ini akan menguji cakupan pasal-pasal tersebut, subjek hukum yang dituju, serta potensi tantangan dalam implementasinya. Laporan ini juga akan mempertimbangkan dampak dari peraturan perundang-undangan selanjutnya, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, terhadap kerangka pertanggungjawaban pidana dalam UU JPPH. Menganalisis aspek pertanggungjawaban pidana sangat penting untuk memahami mekanisme penegakan hukum UU JPPH dan potensi konsekuensi bagi ketidakpatuhan. Sementara UU JPPH menetapkan kerangka kerja jaminan produk halal, ketentuan pertanggungjawaban pidana menjadi instrumen penegak hukum. Memahami ketentuan ini esensial bagi pelaku usaha untuk memastikan kepatuhan dan bagi badan pengawas untuk menegakkan hukum secara efektif.


Tinjauan Umum UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
UU JPPH didasarkan pada amanat konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama dan kewajiban negara untuk melindungi praktik keagamaan warganya. Tujuan pembentukannya meliputi pemberian kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat. Undang-undang ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Tujuan ganda antara melindungi hak-hak keagamaan dan mempromosikan manfaat ekonomi menyoroti motivasi kompleks di balik UU JPPH. Undang-undang ini tidak hanya didorong oleh pertimbangan keagamaan tetapi juga oleh potensi keuntungan ekonomi dari industri halal yang kuat. Fokus ganda ini dapat menyebabkan ketegangan dan pertukaran dalam implementasinya.


UU JPPH mendefinisikan istilah-istilah kunci seperti "Produk," "Produk Halal," "Proses Produk Halal (PPH)," "Jaminan Produk Halal (JPH)," "Sertifikat Halal," "BPJPH," "MUI," dan "Pelaku Usaha". Memahami definisi-definisi ini sangat penting untuk menginterpretasikan kewajiban dan tanggung jawab hukum berdasarkan undang-undang. Definisi "Produk" yang luas menunjukkan cakupan penerapan UU JPPH yang luas pula, berpotensi meliputi barang dan jasa di luar makanan dan minuman saja. Dimasukkannya kosmetik, obat-obatan, dan barang-barang lain dalam definisi "Produk" mengindikasikan jangkauan luas mandat sertifikasi halal dan potensi dampaknya pada berbagai industri.
UU JPPH menguraikan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan tanggung jawabnya dalam mengelola sertifikasi halal. Undang-undang ini juga merinci peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan fatwa halal. Sanksi pidana dalam UU JPPH terutama terletak pada Bab IX, khususnya Pasal 56 dan 57. Penempatan sanksi pidana di bagian akhir UU JPPH mengisyaratkan bahwa sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk menegakkan kepatuhan setelah langkah-langkah administratif. Struktur undang-undang mengindikasikan pendekatan hierarkis terhadap penegakan hukum, dengan sanksi administratif kemungkinan menjadi alat utama untuk memastikan kepatuhan, dan sanksi pidana dicadangkan untuk pelanggaran yang lebih serius. Pasal 56: Pasal ini secara khusus menargetkan Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal untuk produk mereka. Pelanggaran terjadi ketika Pelaku Usaha gagal menjaga status kehalalan produk bersertifikat, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 25 huruf b. Sanksi yang ditetapkan adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Ketentuan ini menggarisbawahi tanggung jawab berkelanjutan pelaku usaha untuk memastikan integritas produk bersertifikat halal mereka di seluruh rantai produksi dan pasokan. Mendapatkan sertifikat halal bukanlah peristiwa satu kali. Pelaku usaha memiliki kewajiban berkelanjutan untuk mematuhi standar halal, dan pasal ini memberikan efek jera yang signifikan terhadap tindakan yang membahayakan status halal produk bersertifikat.

Kegagalan Pelaku Usaha menjaga status kehalalan produk bersertifikat | Pelaku Usaha | Pidana penjara paling lama 5 tahun ATAU pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 |
Pasal 57: Pasal ini berlaku untuk "setiap orang" yang terlibat dalam penyelenggaraan proses Jaminan Produk Halal (JPH). Kesalahan terjadi jika gagal menjaga kerahasiaan formula produk yang diserahkan oleh Pelaku Usaha, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43. Sanksinya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak kekayaan intelektual pelaku usaha dengan memberikan sanksi terhadap pengungkapan informasi produk rahasia yang tidak sah selama proses sertifikasi halal. Formula produk dapat menjadi aset berharga bagi pelaku usaha. Pasal ini mengakui pentingnya melindungi informasi ini selama proses sertifikasi halal yang seringkali mendetail, yang melibatkan pemeriksaan bahan-bahan dan metode produksi.
Kegagalan setiap orang yang terlibat dalam proses JPH menjaga kerahasiaan formula produk | Setiap orang yang terlibat dalam proses JPH | Pidana penjara paling lama 2 tahun ATAU pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 |
Problematika dan Tantangan dalam Implementasi Pertanggungjawaban Pidana UU JPPH, Pasal 4 UU JPPH mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia untuk bersertifikat halal. Namun, UU JPPH tidak secara eksplisit menetapkan sanksi pidana bagi Pelaku Usaha yang gagal memperoleh sertifikasi halal. Ketiadaan sanksi pidana yang jelas untuk tidak melakukan sertifikasi menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas persyaratan sertifikasi wajib. Jika tidak ada konsekuensi yang signifikan untuk tidak mematuhi persyaratan sertifikasi wajib, pelaku usaha mungkin kurang termotivasi untuk menjalani proses tersebut, yang berpotensi melemahkan tujuan keseluruhan jaminan produk halal.


UU JPPH mengenakan sanksi pidana kepada Pelaku Usaha yang gagal menjaga standar halal pasca-sertifikasi (Pasal 56) dan kepada individu yang melanggar kerahasiaan (Pasal 57). Namun, undang-undang ini tidak secara eksplisit menguraikan sanksi pidana bagi Pelaku Usaha yang tidak mengajukan sertifikasi atau bagi BPJPH sendiri jika gagal memenuhi kewajibannya. Asimetri dalam penerapan sanksi pidana ini dapat dianggap tidak adil atau sebagai celah dalam kerangka penegakan hukum. Untuk sistem jaminan produk halal yang kuat, semua pemangku kepentingan utama, termasuk pelaku usaha, badan pengawas, dan individu yang terlibat dalam proses tersebut, harus dikenakan konsekuensi yang sesuai jika gagal memenuhi kewajiban mereka. Undang-undang saat ini tampaknya memiliki kekurangan dalam hal ini.
Pasal 56 dan Pasal 57 menetapkan denda maksimum sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Sifat tetap denda ini, terlepas dari skala usaha atau dampak ekonomi pelanggaran, dapat menjadi problematik. Inflasi dan perubahan kondisi ekonomi dari waktu ke waktu dapat menggerogoti efek jera dari hukuman moneter yang tetap. Jumlah denda yang tetap mungkin tidak cukup memberikan efek jera bagi perusahaan besar dan dapat menjadi kurang relevan seiring waktu karena fluktuasi ekonomi. Pendekatan yang lebih efektif mungkin melibatkan pengaitan jumlah denda dengan indikator ekonomi atau omzet/keuntungan entitas yang melanggar untuk memastikan efek jera yang konsisten dan bermakna.


Sanksi pidana dalam UU JPPH tampaknya terinspirasi dari Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah UU JPPH menawarkan ketentuan unik yang disesuaikan dengan konteks spesifik jaminan produk halal atau hanya mengulang undang-undang perlindungan konsumen yang sudah ada. Tumpang tindih dengan undang-undang perlindungan konsumen menunjukkan bahwa aspek pertanggungjawaban pidana jaminan halal mungkin tidak ditangani secara berbeda, yang berpotensi menyebabkan ambiguitas dalam penegakan hukum. 

Meskipun perlindungan konsumen terkait dengan jaminan halal, dimensi keagamaan halal memerlukan pertimbangan khusus dan mekanisme penegakan hukum yang berpotensi berbeda. Sejauh mana UU JPPH secara memadai menangani aspek unik ini perlu diteliti lebih lanjut.


Undang-Undang Cipta Kerja telah memperkenalkan perubahan pada beberapa pasal UU JPPH, termasuk yang berkaitan dengan sanksi administratif. Misalnya, sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran (Pasal 48 UU JPPH asli) telah dihapus. Kewenangan BPJPH untuk mencabut sertifikat halal atas pelanggaran berdasarkan Pasal 27 dan 41 juga telah dimodifikasi, dengan bentuk sanksi yang kini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Perubahan yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja tampaknya melemahkan beberapa mekanisme penegakan hukum UU JPPH, terutama mengenai penarikan segera produk tidak halal dari pasar. Amandemen dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang seringkali bertujuan untuk mempermudah peraturan bisnis, mungkin secara tidak sengaja mengkompromikan efektivitas jaminan produk halal dengan mengurangi berat dan segera sanksi atas ketidakpatuhan. Pergeseran menuju sanksi administratif yang diatur pada tingkat yang lebih rendah dapat menyebabkan inkonsistensi dalam penegakan hukum.


Implikasi dan Rekomendasi Pelaku Usaha menghadapi potensi tanggung jawab pidana berdasarkan Pasal 56 jika gagal menjaga status halal produk bersertifikat mereka, yang dapat menyebabkan denda yang signifikan dan kerusakan reputasi. Individu yang terlibat dalam proses JPH, seperti auditor dan staf Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 57 jika mereka melanggar kerahasiaan formula produk. Kurangnya sanksi pidana eksplisit untuk tidak mengajukan sertifikasi mungkin mengimplikasikan tingkat risiko hukum yang lebih rendah bagi pelaku usaha yang memilih untuk tidak mencari sertifikasi halal, meskipun ada persyaratan wajib dalam Pasal 4. Tidak adanya tanggung jawab pidana bagi BPJPH menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas badan pengawas itu sendiri dalam memastikan jaminan produk halal yang efektif. Kerangka hukum saat ini menciptakan serangkaian risiko dan kewajiban khusus bagi berbagai pihak dalam ekosistem produk halal, dengan potensi kesenjangan dalam akuntabilitas bagi pelaku usaha yang tidak melakukan sertifikasi dan badan pengawas. Memahami implikasi hukum ini sangat penting bagi semua pemangku kepentingan untuk menavigasi lanskap peraturan dan memastikan kepatuhan. Distribusi tanggung jawab yang tidak merata mungkin memerlukan evaluasi ulang strategi penegakan hukum.


Pertimbangkan untuk memperkenalkan sanksi pidana khusus bagi Pelaku Usaha yang gagal mematuhi persyaratan sertifikasi halal wajib yang diuraikan dalam Pasal 4 UU JPPH. Jelajahi kemungkinan untuk menetapkan sistem denda yang lebih bertingkat dalam Pasal 56 dan 57, yang berpotensi terkait dengan ukuran dan omzet entitas yang melanggar atau dengan indikator ekonomi yang relevan. Klarifikasi hubungan antara ketentuan pertanggungjawaban pidana UU JPPH dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk menghindari ambiguitas dan memastikan pendekatan yang konsisten terhadap penegakan hukum. Evaluasi kembali amandemen yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja terhadap kerangka sanksi administratif UU JPPH untuk memastikan bahwa efek jera yang efektif terhadap ketidakpatuhan tetap berlaku. 

Pertimbangan untuk memperkenalkan mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban BPJPH melalui sanksi administratif atau berpotensi pidana atas kegagalan sistemik dalam tugas pengawasannya. Memperkuat kerangka pertanggungjawaban pidana memerlukan penanganan kesenjangan dalam sanksi, memastikan efek jera hukuman, dan mengklarifikasi interaksi dengan undang-undang lain yang relevan. Rekomendasi ini bertujuan untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih komprehensif dan efektif untuk menegakkan jaminan produk halal di Indonesia, memastikan perlindungan yang lebih besar bagi konsumen dan persaingan yang adil bagi pelaku usaha. Kembangkan pedoman yang jelas dan prosedur operasi standar untuk menyelidiki dan menuntut pelanggaran Pasal 56 dan 57 UU JPPH. Tingkatkan kapasitas lembaga penegak hukum dan peradilan untuk memahami kompleksitas jaminan produk halal dan persyaratan khusus UU JPPH. Tingkatkan koordinasi dan pertukaran informasi antara BPJPH, MUI, LPH, dan lembaga penegak hukum untuk memastikan pemantauan dan penegakan hukum yang efektif. Implementasi ketentuan pertanggungjawaban pidana yang efektif memerlukan panduan yang jelas, peningkatan kapasitas yang memadai, dan kerja sama antar lembaga yang kuat. Tanpa langkah-langkah praktis untuk mendukung penegakan ketentuan pidana ini, ketentuan tersebut berisiko tetap tidak efektif di atas kertas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline