Lihat ke Halaman Asli

Benny Eko Supriyanto

TERVERIFIKASI

Aparatur Sipil Negara (ASN)

Taro Ada Taro Gau: Etika Bugis yang Kian Langka di Zaman Penuh Basa Basi

Diperbarui: 16 Juni 2025   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BUDAYA. Salah satu prinsip luhur dari kearifan lokal Bugis-Makassar yang masih sangat relevan hingga hari ini adalah Taro Ada Taro Gau yang berarti "menjaga kata, menjaga perbuatan".(foto:ist) via inspirasinusantara.id

Di tengah hiruk-pikuk zaman yang makin sibuk oleh tanda kutip, simbol emosi, dan kata-kata manis di ruang maya, kita seakan lupa pada satu hal yang paling mendasar dalam relasi sosial: kesesuaian antara kata dan perbuatan. Di masa kini, ucapan mudah diucap, janji mudah ditebar, tetapi realisasinya kerap seperti fatamorgana. Pepatah Bugis "Taro Ada Taro Gau" --- yang berarti "Satu Kata, Satu Perbuatan" --- menjadi cermin bening yang menampakkan krisis moral dan integritas yang melanda banyak sisi kehidupan bangsa ini.

Pepatah ini bukan sekadar petuah turun-temurun. Ia adalah etika dasar, simpul moral, dan nilai luhur yang membentuk karakter masyarakat Bugis sejak zaman kerajaan. Dalam khazanah budaya Sulawesi Selatan, Taro Ada Taro Gau bukan hanya ajaran, tetapi juga ukuran harga diri. Seorang laki-laki Bugis sejati, begitu pula perempuan yang menjunjung martabat keluarga, akan mempertaruhkan nama baiknya demi menjaga agar setiap kata yang diucapkan setara dengan tindakan nyata.

Namun kini, nilai-nilai seperti itu terasa asing, bahkan dianggap naif. Kita hidup dalam era post-truth, di mana persepsi lebih berkuasa ketimbang realita, dan narasi lebih menentukan ketimbang bukti. Seorang pejabat bisa mengucapkan komitmen antikorupsi sambil diam-diam menyiapkan celah anggaran untuk diselewengkan. Seorang tokoh publik bisa menebar janji perubahan, tetapi tetap terjebak dalam mentalitas status quo. Di level paling bawah, kita pun bisa tergoda untuk beretorika moral tinggi, tetapi mengabaikan kejujuran dalam tindakan sehari-hari, dari memotong antrean hingga mencontek dalam ujian.

Pepatah Taro Ada Taro Gau seharusnya menjadi warisan budaya yang direvitalisasi dalam pendidikan karakter. Sayangnya, nilai-nilai lokal seperti ini kerap dianggap kuno dan kalah saing dengan jargon-jargon modern tentang etika global. Padahal, apa yang disebut integritas oleh dunia barat --- yakni konsistensi antara apa yang diyakini, diucapkan, dan dilakukan --- sejatinya telah lama hidup dalam filosofi Bugis tersebut. Taro Ada Taro Gau adalah bentuk lokal dari integritas universal.

Budaya Integritas yang Tergusur

Jika dicermati, ketika terjadi krisis kepercayaan publik terhadap institusi-institusi negara, mulai dari lembaga penegak hukum, legislatif, hingga partai politik, berakar dari ketidakharmonisan antara ucapan dan tindakan. Ketika pejabat mengatakan "demi rakyat," tetapi kebijakan yang diambil justru menyakiti rakyat kecil, publik pun belajar untuk tidak percaya. Ketika guru berkata "kejujuran adalah kunci," tetapi murid melihat praktik sebaliknya dalam evaluasi sekolah, mereka pun belajar untuk bermain aman, bukan untuk jujur.

Dalam kondisi seperti inilah pepatah Taro Ada Taro Gau seharusnya dibumikan kembali. Bukan sekadar dilestarikan sebagai simbol budaya di pelajaran muatan lokal, tetapi dijadikan prinsip hidup --- dari ruang keluarga, ruang kelas, hingga ruang rapat DPR. Integritas bukan soal besar-kecilnya jabatan, tetapi soal kesanggupan menjaga keseimbangan antara kata dan perbuatan, sekecil apa pun itu.

Menjadi Cermin untuk Anak Bangsa

Pendidikan karakter yang selama ini digaungkan pemerintah seharusnya tidak melulu mengadopsi teori luar, tetapi juga menggali mutiara lokal seperti pepatah ini. Sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan, misalnya, dapat memulai dari hal kecil: mengajarkan murid untuk tidak berjanji mengerjakan PR jika tak yakin bisa menyelesaikannya, atau berani mengakui kesalahan tanpa menyalahkan orang lain. Di sinilah Taro Ada Taro Gau menjadi lebih dari sekadar pepatah: ia menjadi metode membentuk manusia Indonesia yang utuh, jujur, dan berani.

Anak-anak muda yang kini tumbuh dalam era media sosial, tempat pencitraan begitu mudah dipoles, butuh pegangan yang lebih kuat daripada sekadar "apa yang sedang tren." Mereka butuh prinsip hidup yang membumi dan membentuk karakter sejati. Pepatah ini bisa menjadi benteng dari mentalitas basa-basi, pencitraan, dan kemunafikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline