Program makan bergizi gratis (MBG) yang digagas pemerintah menjadi salah satu kebijakan publik paling ambisius pada tahun ini dan ditahun-tahun akan datang. Rencana ini berangkat dari kebutuhan nyata: mengentaskan stunting, meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini, serta menjamin pemerataan akses nutrisi bagi anak-anak sekolah di seluruh Indonesia. Seperti halnya kebijakan strategis lainnya, MBG membawa harapan besar, tetapi sekaligus menyimpan potensi risiko yang tidak kecil---terutama jika pengawasan mutu dan keamanan tidak dijadikan pilar utama pelaksanaan.
Dalam konteks inilah suara dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) layak digarisbawahi. Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menyampaikan dengan tegas bahwa lembaganya ingin dan harus dilibatkan sejak tahap awal program MBG. Tidak hanya ketika pelatihan berlangsung atau saat kejadian luar biasa (KLB) seperti keracunan massal telah terjadi, tetapi sejak proses hulu: mulai dari pemilihan bahan baku, dapur pengolahan, hingga pengawasan distribusi makanan ke sekolah-sekolah. Menurutnya, ini bukan soal birokrasi, melainkan langkah preventif demi keselamatan anak-anak Indonesia.
Keniscayaan Pengawasan dari Hulu ke Hilir
Pengawasan makanan untuk anak-anak bukan persoalan sepele. Anak usia sekolah adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak kesehatan dari makanan yang tercemar. Dalam program yang akan menyasar jutaan pelajar di berbagai daerah ini, satu titik kelalaian bisa berakibat fatal: keracunan massal, penyebaran penyakit, bahkan kematian.
Selama ini, sebagaimana dijelaskan Taruna, BPOM baru dilibatkan pada pelatihan untuk pelatih (training of trainers) bagi para SPPG (Sanitarian Penanggung Jawab Program Gizi) dan SPPI (Sanitarian Pengawas Produksi Industri). Selain itu, kehadiran BPOM hanya diminta bila terjadi insiden---alias setelah kejadian luar biasa sudah berlangsung. Dengan kata lain, peran BPOM selama ini lebih bersifat reaktif ketimbang preventif. Padahal, pendekatan keamanan pangan modern justru menekankan pentingnya pencegahan, bukan penanganan saat krisis terjadi.
Apalagi, pelaksanaan MBG akan melibatkan ribuan titik produksi makanan di berbagai wilayah dengan standar dan kapasitas yang berbeda-beda. Tanpa kehadiran lembaga pengawas seperti BPOM sejak awal, sangat mungkin terjadi ketimpangan kualitas. Di satu daerah mungkin makanan tersaji dengan standar gizi dan keamanan yang baik, tetapi di tempat lain bisa jadi makanan disajikan dengan bahan tercemar, peralatan yang tidak higienis, atau distribusi yang tidak sesuai rantai dingin. Ini adalah ancaman nyata terhadap kesehatan anak-anak kita.
Sinergi Lintas Lembaga: Syarat Mutlak
Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam mewujudkan program MBG yang berkualitas dan berkelanjutan. Keterlibatan lintas lembaga adalah keharusan, bukan pilihan. Dalam hal ini, sinergi antara Badan Gizi Nasional (BGN) dan BPOM adalah jantung dari keberhasilan program. Keduanya mewakili dua sisi yang saling melengkapi: pemenuhan gizi dan jaminan keamanan pangan.
Dalam waktu dekat, BPOM dan BGN akan menghadiri rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI. Ini adalah momentum emas untuk memperkuat posisi pengawasan pangan dalam desain besar MBG. Sebab, program ini tidak bisa semata dinilai dari jumlah makanan yang dibagikan atau anggaran yang terserap, tetapi dari sejauh mana program ini mampu memberikan dampak positif yang nyata---baik dari segi kesehatan, perkembangan anak, maupun keamanan konsumsi.
BPOM telah menyatakan siap berkontribusi secara maksimal, tetapi kesiapan itu harus direspon dengan kebijakan yang tepat dari pemerintah dan parlemen. Perlu ada mekanisme pelibatan resmi, standar operasional prosedur yang jelas, serta pendanaan yang memadai untuk mendukung pengawasan pangan dari hulu ke hilir.