Lihat ke Halaman Asli

Ben Ibratama

Tenaga Ahli

Meneropong SWF ala Jokowi

Diperbarui: 7 Februari 2021   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika.co.id

Rencana pemerintah untuk memiliki sebuah wadah penampung investasi dari luar negeri atau Indonesia Investement Authority (INA) nampaknya perlu dicermati dengan lebih kritis. Ini merupakan Sovereign Wealth Fund yaitu badan pengelola dana investasi yang dimiliki negara, dana yang dikelola bisa berasal dari devisa milik bank sentral, cadangan devisa milik bank sentral, akumulasi surplus perdagangan, surplus anggaran, dana hasil privatisasi, maupun penerimaan negara dari ekspor sumber daya alam. 

Tujuannya tentu bermacam-macam baik untuk dana stabilisasi, dana pensiun, cadangan investasi, atau dana pengelolaan kekayaan negara. Berbagai negara maju seperti Norwegia, memiliki Norwey Government Pansion Global Fund, dengan tujuan untuk memfasilitasi tabungan pensiun untuk publik, mendukung pemerintah untuk membelanjakan dana minyak. 

Demikian juga dengan Unit Emirat Arab (UEA) memiliki Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dengan tujuan untuk mengelola kelebihan dana penjualan minyak negara tersebut. Selanjutnya, Singapura dengan Temasek Holding yang berinvestasi menggunakan dana cadangan pemerintah dalam berbagai sektor seperti industri keuangan, telekomunikasi, transportasi, energi dll.

Kembali ke SWF ala Jokowi, modal awal yang digelontorkan sebesar 75 triliun yang akan diberikan secara bertahap di tahun 2021 ini. Tujuan utama adalah untuk memperbaiki iklim investasi dan sebagai alternatif pembiayaan proyek infrastruktur, karena ke depan kebutuhan untuk pembiayaan infrastruktur yang tinggi, menjaga rasio hutang dan PDB, serta terbatasnya ruang pembiayaan pada BUMN. 

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2020 Tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2020 Tentang Lembaga Pengelola Investasi. Keduanya merupakan peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terutama di bidang investasi.

Tahun 2015 yang lalu, Jokowi dan jajaran sudah mulai mencetuskan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) melalui PMK Nomor 52/PMK.01/2007 dengan suntikan modal sebesar 4 triliun, namun tidak berkembang hingga dilikuidasi karena ketika itu cadangan devisa negara terbatas. Sekarang Jokowi kembali mewujudkan ambisi tersebut untuk mendongkrak investasi dalam negeri dengan menarik dana dari luar negeri. 

Sekarang kita coba meneropong mengenai badan pengelola investasi ala Jokowi ini, apakah kebijakan ini benar-benar berdampak untuk mendongkrak investasi dalam negeri, atau hanya berpihak pada pemodal-pemodal asing, sehingga hanya akan menghasilkan konglomerasi baru, atau jangan-jangan sebagai upaya untuk menarik dana orang Indonesia yang disimpan di luar negeri ?

Investasi Dalam Negeri
Kalau meneropong ambisi ini, nampaknya selaras dengan visi Indoenesia Emas di 2045 sebagai negara dengan PDB 10 besar dunia dengan basis 39% PDB merupakan investasi (Ease Of Doing Bussiness (EoDB) dan menjadi salah satu negara investor di dunia. Diperkirakan kita akan membutuhkan dana untuk pembiayaan sekitara 6.445 triliun dari tahun 2020-2024. 

Jadi investasi dari luar dibutuhkan untuk memperkecil gap pembiayaan, khususnya pada industri padat karya. Artinya dengan skema ini pembiayaan pembangunan infrstruktur tetap jalan namun tidak menguras APBN terlalu dalam dan bisa dialokasi untuk kegiatan produktifitas lainnya. 

Di atas kertas, rencana ini nampaknya cukup manjur untuk mendorong investasi dalam negeri (FDI) namun apakah akan mulus mengingat situasi ekonomi global tidak stabil akibat pandemi? apakah negara atau investor akan menguncurkan dana pada sektor pada karya dengan cost fund tinggi dan tenor yang panjang? Satu lagi, apakah investasi tersebut akan berdampak pada sektor ril?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline