Lihat ke Halaman Asli

bambang riyadi

Praktisi ISO Management Sistem dan Compliance

Berapa Nyawa Lagi yang Harus Jadi Korban Sebelum Sekolah dan Pesantren Wajib Penuhi Standar Bangunan Aman?

Diperbarui: 9 Oktober 2025   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tim SAR gabungan mengevakuasi korban ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Senin (29/9/2025). |tajuknasional.com

Pagi itu, 24 September 2025, langit Sidoarjo cerah. Santri-santri Pondok Pesantren Al-Khoziny sedang mengikuti kegiatan belajar seperti biasa. Tiba-tiba, sebuah bangunan bertingkat di kompleks pesantren ambruk. Debu mengepul, teriakan panik memecah kesunyian. Dalam hitungan menit, puluhan nyawa—banyak di antaranya anak-anak—terkubur di bawah reruntuhan beton dan besi.

Tragedi ini bukan hanya bencana kemanusiaan. Ia adalah cermin kegagalan sistemik: kegagalan dalam perencanaan, pengawasan, dan komitmen terhadap keselamatan. Dan yang paling menyakitkan, ini bukan kasus pertama. Sebelumnya, ambruknya gedung sekolah di berbagai daerah—dari Jawa Barat hingga Nusa Tenggara—telah menjadi peringatan yang terus diabaikan.

Pertanyaannya kini bukan hanya “siapa yang salah?”, tapi “berapa nyawa lagi yang harus jadi korban sebelum kita bertindak serius?”

Standar Bangunan: Hak, Bukan Kemurahan Hati

Di banyak lembaga pendidikan, terutama di daerah, standar keamanan bangunan sering dianggap sebagai “biaya tambahan” yang bisa dikompromikan. Dana terbatas, tekanan untuk membangun cepat, dan kurangnya pengawasan membuat banyak pihak memilih jalan pintas: menggunakan material murah, mengabaikan perhitungan struktural, atau mempekerjakan tukang tanpa sertifikasi.

Padahal, keselamatan santri dan siswa bukan komponen opsional. Ia adalah hak dasar yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang aman, layak, dan bermutu.

Kementerian PUPR dan Kementerian Pendidikan sebenarnya telah menerbitkan Pedoman Teknis Bangunan Gedung Sekolah yang jelas. Namun, implementasinya sering terhambat oleh:

  • Lemahnya pengawasan dari dinas terkait.
  • Minimnya kapasitas teknis pengelola lembaga pendidikan swasta.
  • Budaya “asal jadi” yang masih mengakar di banyak proyek infrastruktur daerah.

Pelajaran dari Negara Lain

Negara-negara maju tidak main-main soal keamanan bangunan pendidikan:

  • Jepang, yang rawan gempa, mewajibkan semua sekolah menggunakan desain tahan gempa dan menjalani inspeksi tahunan ketat.
  • Amerika Serikat, setiap negara bagian memiliki building code yang mengharuskan sekolah memenuhi standar ketahanan api, struktur, dan evakuasi darurat.
  • Finlandia, setiap proyek renovasi sekolah harus melibatkan arsitek bersertifikat dan insinyur struktur independen.

Di Indonesia, kita masih terjebak pada mentalitas reaktif: baru bertindak setelah terjadi bencana.

Tiga Langkah Mendesak yang Harus Diambil

  1. Audit Nasional Bangunan Pendidikan
    Pemerintah harus segera menginisiasi audit menyeluruh terhadap seluruh gedung sekolah, pesantren, dan kampus—terutama yang dibangun lebih dari 10 tahun lalu atau tanpa izin resmi. Hasil audit harus dipublikasikan dan lembaga yang tidak memenuhi standar wajib direnovasi atau ditutup sementara.

  2. Sertifikasi Wajib bagi Kontraktor Pendidikan
    Tidak boleh ada lagi proyek pembangunan sekolah yang dikerjakan oleh tukang tanpa latar belakang teknik. Kontraktor harus memiliki sertifikasi khusus untuk proyek pendidikan, dengan pelatihan tentang standar keamanan anak-anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline