Lihat ke Halaman Asli

Namaku Kathmandu

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rosario itu masih mengamit di tanganku. Dalam genggamanku dia berputar, sehaluan dengan bait-bait nama Tuhan yang bertasbih dari bibirku. Bibir kering yang terlalu lama tidak disirami air. Liurku juga telah kering, bahkan sering sekali kerongkonganku terasa sakit. Panas membumbung tinggi, matahari seperti sejengkal di atas ubun-ubun.

Rosarioku adalah tasbih yang unik, terukir dari biji-biji korma yang telah dikeringkan. Korma adalah makanan yang disukai nabiku, aku menjadikannya sebagai rosario sebagai bentuk cinta walau aku tetap memakan gandum yang telah menjadi roti. Cuma sesekali aku memakan korma, aku tidak begitu suka dengan sesuatu yang manis kecuali susu dengan tambahan sedikit gula.

Tidak cuma biji korma. Aku juga menyimpan segenggam pasir dari tanah yang pernah disinggahi oleh nabiku. Pasir itu kumasukkan ke dalam sebuah kantung yang kukalungkan dileherku. Sesekali jika cintaku telah begitu melangit maka aku berdiam sejenak, kutundukkan kepalaku ke tanah lantas kantung pasir itu kuciumi. Aku seperti sedang menciumi kaki nabiku.

Aku cinta nabiku.

Guru sering bercerita, dulu. Dia pernah kata bahwa nabiku adalah manusia suci, yang dosanya terampunkan dahulu, sekarang, dan masa akan datang. Nabiku adalah pecinta Tuhan sejati. Walau Tuhan telah mengampunkan segala dosa-dosanya, namun nabiku tidak langsung naik kepala. Dia tetap tekun bercinta dengan Tuhannya. Saban malam dikorbankan tidurnya demi Tuhannya. Pernah ditanya mengapa hal demikian dia lakukan, dan engkau tahu jawabnya? “Tidak bolehlah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Selalu, setiap mendengarkan cerita guruku perihal nabi aku menangis. Tak pernah mampu kutahan tangis ini. Semenjak itu timbul rasa cintaku kepada nabi.

Aku pun sedang mencari Tuhan, seperti yang nabiku lakukan. Bukannya aku tidak percaya dengan petuah-petuah yang nabiku ajarkan, namun aku ingin merasakan pengalaman yang nabiku alami. Dan satu pengalaman yang benar-benar ingin aku rasakan adalah pengalaman menemukan. Menemukan sebuah nama, nama yang keseratus.

Aku baru pulang dari rumah Tuhan. Dari sanalah aku mengambil segenggam pasir yang sekarang berkalung di leherku ini. Dari sana, aku menemukan sejuta ketenangan yang tidak kutemukan di kampungku dulu. Rasanya waktu berputar begitu cepat. Aku terlalu sering larut di dalam sujud di lantai rumah Tuhanku itu. Saat itu aku mengerti, mengapa nabiku dulu menikmati setiap sujud hingga rela mengorbankan waktu bermalamnya.

Cinta mampu membutakan apapun. Bahkan nabimu.

Kembali ke nama yang keseratus. Aku dulu pernah mendengarkan sebuah kisah, tentang Tuhan yang memberitakan 99 nama-Nya kepada umat manusia. Namun, cuma satu nama yang Dia simpan khusus kepada para kekasih-Nya. Entah mengapa, aku ingin menjadi kekasih Tuhan itu. Aku ingin menjadi dia yang Dia cintai.

Guruku, yang dulu sering menceritakan tentang nabi yang aku cintai itu, dia adalah salah seorang yang telah menemukan nama yang keseratus. Aku pernah mencoba-coba guruku itu, karena saat itu aku tidak mempercayainya. Pikirku, dia cuma membual untuk menaikkan pamornya di hadapan semua murid. Aku tanya, “bukankah dengan mengetahui nama yang keseratus, Tuhan tidak akan pernah menolak doa kita, Guru?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline