Setiap kali kita duduk di meja makan, menatap nasi hangat dan lauk sederhana, apakah kita benar-benar berhenti sejenak untuk bertanya, "siapa yang membuat semua ini ada? Siapa yang menanam padi itu, siapa yang menarik jala di laut sehingga saya bisa makan ikan kembung goreng ini? Siapa yang memberi makan ayam agar saya bisa makan ayam goreng yang nikmat ini? Dan siapa yang berkontribusi untuk menjadikan sambal terasi ini ada di meja makan?"
Kita hidup dalam peradaban yang begitu cepat sampai lupa bahwa makanan bukan sekadar produk, tetapi hasil dari tetesan keringat demi keberlangsungan kehidupan seseorang. Setiap butir beras, setiap tetes susu, dan setiap daun bayam di piring kita memiliki jejak tangan, keringat, dan harapan manusia lain yang mungkin tak pernah kita temui.
Inilah kisah tentang mereka: para petani, peternak, dan nelayan yang diam-diam menjaga kehidupan bangsa.
Pagi yang Dimulai Sebelum Matahari
Ketika sebagian dari kita baru terbangun dan menyalakan ponsel, para petani sudah memanggul cangkul di pundak. Saat kota masih gelap, mereka sudah berada di sawah, menyiapkan tanah, menanam bibit, dan berharap hujan turun tepat waktu. Belum lagi mereka akan merasa khawatir jika cuaca buruk dan gagal panen, bagaimana mereka bisa melanjutkan kehidupannya sedangkan hasil panennya tidak ada dan tidak ada hal yang dapat mereka jual?
Mereka bekerja dalam diam, tanpa ruangan berpendingin udara, tanpa jadwal fleksibel, dan tanpa jaminan harga yang pasti untuk setiap hasil bumi yang mereka jaga dengan sepenuh hati. Tanpa kita sadari, justru dari merekalah datang energi yang menggerakkan negeri ini, yaitu melalui suplai pangan.
Data dari Badan Pangan Nasional (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 33 juta orang Indonesia bekerja di sektor pertanian. Ironisnya, sebagian besar dari mereka yang menanam makanan justru hidup di bawah garis pendapatan layak. Banyak petani yang menyiapkan bahan pangan untuk negeri ini, namun mereka sendiri masih kesulitan memenuhi kebutuhan makannya.
Jadi, apakah kita masih ingin menghamburkan nasi yang kita peroleh dari restoran atau tempat makan? Bukankah, kita bisa meminta untuk meminta porsi setengah agar nasinya tidak dihamburkan ke tong sampah?
Laut yang Tak Pernah Tidur
Di wilayah timur, saat langit masih gelap, para nelayan menyalakan perahu mereka. Mereka tidak sekadar mencari ikan, tetapi menantang laut, cuaca, dan ketidakpastian. Setiap pagi, mereka menghadapi risiko besar demi membawa protein segar ke pasar agar kita dapat menikmati ikan goreng di rumah.
Nelayan adalah penjaga laut terakhir kita. Mereka tahu kapan arus berubah dan kapan ikan berpindah. Pengetahuan mereka tidak tertulis di buku, melainkan diwariskan dari pengalaman dan intuisi. Tanpa mereka, rantai gizi dari laut akan terputus.
Namun, laporan FAO (2023) menyebutkan bahwa nelayan kecil di Asia Tenggara kini menghadapi ancaman serius akibat polusi laut, overfishing, dan kenaikan harga bahan bakar. Ketika perahu mereka berhenti berlayar, meja makan kita kehilangan sumber protein paling alami yang pernah ada.
Bayangkan, jika laut terkena polusi, ikan tidak ada, mereka pindah haluan untuk mencari sumber mata pencaharian yang lain dan akhirnya tidak ada hasil laut sama sekali, kita mau makan dari sumber apa? Kemudian kondisi laut itu mengikuti cuaca dan pertaruhannya adalah nyawa secara langsung.