Bantul, 18 Juni 2025 -- Wacana pendidikan inklusi telah mengemuka sejak terbitnya Permendiknas No. 70 Tahun 2009, yang menegaskan hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Namun, di balik kebijakan yang progresif ini, praktik di lapangan menunjukkan dinamika yang kompleks.
Salah satu potret nyata datang dari SD Negeri Sempu, sebuah sekolah dasar di wilayah Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, yang telah membuka jalur afirmasi bagi siswa ABK. Meski menjadi salah satu sekolah inklusi di wilayahnya, SD Negeri Sempu masih berjuang dengan keterbatasan sumber daya, belum adanya sistem pendukung profesional yang berkelanjutan, serta kurangnya panduan teknis dari pemerintah.
Wawancara langsung dilakukan oleh empat mahasiswi Program Studi PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta---Unzila Aziza, Zida Alfiyyatul Izza, Marlia Ekandari, dan Eka Nur Annisa---dengan Ibu Destrya Susilowati, S.Pd, guru kelas di SD Negeri Sempu yang telah mengabdi selama lima tahun. Wawancara berlangsung pada 23 Mei 2025, dan menghasilkan banyak temuan penting terkait pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah tersebut.
Sekolah Buka Jalur Afirmasi, tapi Minim Pedoman dan Dukungan
SD Negeri Sempu membuka jalur afirmasi dalam PPDB untuk siswa berkebutuhan khusus. Dari total 28 siswa kelas 1, sekitar 2--4 anak diterima melalui jalur afirmasi yang mencakup anak dengan hambatan komunikasi dan perkembangan kognitif. Namun, menurut Ibu Destrya, tidak ada kriteria teknis dari pemerintah mengenai siapa saja yang dapat diterima.
"Selama kuota belum penuh, kami menerima anak ABK. Tapi terus terang, kami belum memiliki instrumen atau pendamping profesional untuk asesmen awal. Semua masih berdasarkan pengamatan guru dan laporan orang tua," ungkapnya.
Hal ini menimbulkan persoalan baru: semangat inklusi yang tinggi tidak dibarengi dengan kesiapan sistem. Guru-guru reguler terpaksa menyesuaikan pembelajaran sendiri, menggunakan pendekatan Universal Design for Learning secara mandiri tanpa pelatihan formal. Beberapa strategi seperti menempatkan ABK di depan kelas, memberikan soal yang dimodifikasi, atau memberikan waktu tambahan sudah rutin dilakukan. Namun, semua ini bersifat spontan dan tidak didukung sistemik.
Bandingkan dengan SD Inklusi Lain: Ketimpangan Kualitas dan Dukungan
Untuk menempatkan situasi ini dalam konteks lebih luas, tim pewawancara membandingkan praktik inklusi di SD Negeri Sempu dengan SD Negeri Giwangan 1 Yogyakarta, salah satu sekolah rujukan inklusi di Kota Yogyakarta yang telah bekerja sama dengan Pusat Layanan Autis (PLA) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Di SD Giwangan 1, terdapat guru pendamping khusus (GPK) yang hadir setiap hari dan dilatih secara rutin melalui program kerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota. Siswa ABK mendapatkan kurikulum adaptif yang disusun bersama tim khusus, serta rutin mengikuti asesmen perkembangan. Bahkan, sekolah ini memiliki ruang belajar transisi khusus bagi ABK dengan hambatan berat.
Perbedaan ini menunjukkan kesenjangan nyata antara sekolah-sekolah inklusi di kota besar dan daerah pinggiran. Jika SD Negeri Giwangan telah menerapkan inklusi secara menyeluruh, maka SD Negeri Sempu masih berada dalam tahap survival, dengan semangat tinggi namun minim fasilitas.