Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kini tidak lagi sekadar alat bantu untuk menulis. Dalam hitungan detik, ia mampu menyusun artikel ilmiah, berita, opini, bahkan karya hukum dengan struktur dan gaya bahasa yang menyerupai tulisan manusia. Banyak orang mulai mengandalkan teknologi ini untuk mempercepat pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan menembus batas kreativitas. Namun, di balik kemudahan itu muncul pertanyaan mendasar: ketika AI menghasilkan tulisan yang salah, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Pertanyaan ini bukan sekadar persoalan etika, tetapi juga menyentuh ranah hukum. Dalam sistem hukum, pertanggungjawaban selalu berpangkal pada perbuatan manusia. Hukum mengenal subjek hukum sebagai entitas yang dapat dimintai tanggung jawab atas tindakannya. AI, sejauh ini, belum diakui sebagai subjek hukum. Ia tidak memiliki kesadaran, niat jahat (mens rea), ataupun kehendak bebas (free will). Maka, ketika kesalahan terjadi, hukum tidak bisa menuntut AI sebagaimana manusia dituntut. Lalu, tanggung jawab itu berpindah ke siapa?
Sebagian kalangan menilai bahwa tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan pengguna mereka yang mengoperasikan dan mempublikasikan hasil kerja AI tanpa memverifikasi kebenarannya. Pengguna dianggap memiliki kendali akhir atas bagaimana tulisan itu digunakan. Di sisi lain, ada juga yang menyoroti peran pengembang atau developer. Jika kesalahan terjadi karena algoritma yang cacat, data pelatihan yang bias, atau sistem yang menyesatkan, maka pengembang tidak bisa sepenuhnya lepas tangan. Namun, di antara dua pihak ini, garis pemisahnya sering kabur. Bayangkan, misalnya, AI menulis artikel medis yang salah dan menyesatkan publik apakah kesalahan itu disebabkan oleh sistem yang tidak akurat, atau kelalaian pengguna yang tidak memeriksa ulang?
Indonesia sendiri belum memiliki regulasi yang secara khusus mengatur tanggung jawab hukum atas penggunaan AI. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memang menyentuh sebagian aspek digitalisasi, namun belum menyentuh pertanyaan lebih dalam: apakah AI bisa dianggap sebagai "penulis" atau "pencipta"? Jika tulisan yang dihasilkan menimbulkan kerugian, apakah AI dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, atau tetap manusia yang menanggung akibatnya?
Secara etis, banyak ahli berpendapat bahwa AI seharusnya diposisikan hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai entitas independen. Manusia, dengan kesadarannya, tetap menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas apa pun yang dipublikasikan ke ruang publik. Namun, konsep "co-creation" atau kolaborasi antara manusia dan AI mulai mengaburkan batas-batas itu. Jika sebuah karya ditulis bersama AI sebagian besar idenya dihasilkan oleh sistem, tetapi disunting oleh manusia maka muncul pertanyaan baru: siapa yang menjadi pemilik hak cipta, dan siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi kesalahan?
Beberapa negara mulai bergerak untuk menjawab dilema ini. Uni Eropa, misalnya, melalui AI Act, telah merumuskan kerangka hukum yang menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab dalam penggunaan kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, sejumlah gugatan hukum mulai muncul, terutama terkait misinformasi dan pelanggaran hak cipta yang dihasilkan oleh sistem AI. Dunia hukum sedang beradaptasi dengan cepat terhadap fenomena baru yang sebelumnya hanya ada di fiksi ilmiah.
Indonesia tampaknya akan menghadapi tantangan serupa dalam waktu dekat. Semakin banyak mahasiswa, akademisi, jurnalis, hingga lembaga hukum yang menggunakan AI untuk membantu penulisan, riset, dan dokumentasi. Namun tanpa kerangka hukum yang jelas, potensi kesalahan bisa menjadi ranjau hukum di kemudian hari. AI mungkin bisa menulis, tetapi ia tidak bisa mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya. Di balik setiap teks, tetap ada manusia yang menekan tombol "generate", lalu memutuskan untuk mempercayainya atau tidak.
Akhirnya, kehadiran AI menuntut kita bukan hanya untuk menjadi pengguna yang cerdas, tetapi juga penulis yang bertanggung jawab. Teknologi seharusnya memperkuat kemampuan berpikir kritis manusia, bukan menggantikannya. Sebab, sehebat apa pun algoritma bekerja, ia tidak pernah benar-benar memahami makna, niat, dan konsekuensi moral di balik setiap kata. Pada akhirnya, tanggung jawab tetap berada di tangan manusia penulis sejati di balik layar digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI