Kami berjalan-jalan, mengintip ke warung-warung makanan dan gerobak tahu jeletot, berdebat tentang apa yang harus dimakan. Aku ingin masakan Padang. Sudah lama rasanya tidak makan rendang. Tetapi himpunanku tidak suka makan daging. Mereka maunya tahu tempe, tumis kangkung, atau menu untuk vegetarian yang menjijikkan lainnya. Sekali saja, aku berharap bisa menikmati daging penuh minyak yang disiram sambal hijau dan kuah kalio serta teh tawar hangat sebagai minuman.
Tapi itu akan menjadi hari yang lain.
Sehimpunan orang lain menabrak bahu kami tanpa meminta maaf, melirik ke arah kami sejenak. Kemudian mereka terus berjalan mendesak menuju gedung perkantoran terdekat.
Orang-orang sangat kasar akhir-akhir ini, kata Shanti dalam hati. Pahit sekali.
Tentu saja, kami sama pahitnya dengan kebanyakan orang, terutama terhadap satu sama lain. Yang terpenting, aku merasa gusar terhadap Maruli. Dia adalah bagian dari diri kami yang selalu berusaha mengambil alih tubuh, yang berbicara, yang mengambil keputusan, dan segalanya. Dan kemudian dia mengeluh ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Jika dia terus melakukannya, aku akan meminta kami pergi ke pengadilan untuk memecatnya. Lalu dia bisa mengganggu himpunan lainnya.
"Kita akan membeli sayur asam," bantah Maruli.
"Maaf, Maruli," kata Palupi. "Sekarang giliranku untuk memilih."
"Tidak, bukan itu," suaranya merengek. "Kamu menyuruh kami makan salad hijau beberapa hari yang lalu."
"Itu terjadi minggu lalu, dan itu bagus."
"Ya benar."