Lihat ke Halaman Asli

Axel Sabina Rachel Rambing

Mahasiswa FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kesenian Jathilan Dusun Wuluh: Tradisi yang Hidup di Tangan Generasi Muda

Diperbarui: 21 Juli 2025   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertunjukan Jathilan oleh Komunitas Lokal Wuluh Turonggo Kridho Mudho (sumber dok. pribadi)

Wuluh, Banjarejo -- Di tengah derasnya arus budaya populer yang menjanjikan kecepatan dan modernitas, sekelompok anak muda dari Dusun Wuluh, Kalurahan Banjarejo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, justru memilih jalan yang lebih sunyi namun bermakna: menghidupkan kembali jathilan.

Seni tari tradisional ini mereka wujudkan dalam bentuk komunitas bernama Turonggo Kridho Mudho, sebuah kelompok kesenian yang lahir dari gagasan seorang warga sekaligus Ketua Karang Taruna Dusun Wuluh, Prasetyo Widodo (46), pada tahun 2023. Di balik nama yang mengandung filosofi "gerakan kuda yang muda dan enerjik", tersimpan harapan besar agar anak-anak muda Wuluh memiliki ruang berekspresi yang bermakna dan terarah, serta merajut kembali identitas budaya desa mereka.

"Mereka (anak-anak muda) butuh aktivitas yang lebih produktif, dan lebih baik mereka punya wadah untuk mengekspresikan diri. Lewat kesenian ini salah satunya," ujar Prastyo selaku pendiri komunitas sekaligus ketua Karang Taruna Dusun Wuluh (19/07/25).

Sejak awal pembentukan, Turonggo Kridho Mudho melibatkan banyak pihak. Tiap RT di Dusun Wuluh turut berpartisipasi dalam pembuatan kuda kepang. Perlengkapan pentas ini dibuat secara swadaya oleh masyarakat Dusun Wuluh. Biaya yang harusnya dikeluarkan untuk membeli perlengkapan mahal digantikan dengan gotong royong dan kreativitas.

Keterlibatan warga tidak berhenti di situ. Mereka juga aktif mendukung setiap pementasan, perihal penyediaan lokasi. Tak jarang, latihan rutin kelompok ini menjadi momen berkumpul warga lintas generasi.

Menariknya, Turonggo Kridho Mudho bukan sekadar pelestarian jathilan. Kelompok ini juga menghadirkan adaptasi kreatif. Anak-anak muda diberi keleluasaan berkreasi dalam gerakan tari, musik pengiring, dan kostum dengan catatan, unsur dasar jathilan tetap dipertahankan.

"Kalau semua terlalu pakem, anak-anak cepat bosan. Tapi kalau kita beri ruang eksplorasi, mereka jadi semangat. Yang penting, rohnya jathil tetap ada," ungkap Prastyo (19/07/25).

Kini, pertunjukan jathilan ala Turonggo Kridho Mudho tampil lebih dinamis. Iringan musik tradisional dipadukan dengan drum dan alat modern, menciptakan suasana yang akrab di telinga generasi muda sekaligus tetap kuat dalam nuansa lokal.

Keberadaan kelompok ini juga memberikan dampak sosial nyata. Karang Taruna yang sebelumnya kurang aktif kini kembali hidup. Anak-anak muda yang dulu pasif, kini terlibat dalam latihan, pengelolaan alat, bahkan turut membantu kegiatan sosial desa seperti pengadaan logistik saat ada kedukaan. Prastyo menyadari tantangan tidak kecil, mulai dari rendahnya kedisiplinan hingga anggapan jathilan sebagai seni kuno. Namun ia memilih pendekatan persuasif dan membangun kepercayaan secara perlahan.

Sebagai ketua Karang Taruna Dusun Wuluh yang menjabat hampir tiga tahun terakhir, Prasetyo berharap Turonggo Kridho Mudho dapat menjadi ruang regenerasi budaya di desa. Ia juga menegaskan bahwa kelompok ini tidak sekadar menampilkan seni mistis, melainkan menonjolkan nilai estetik, kedisiplinan, dan kerja sama dalam wadah kesenian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline