Lihat ke Halaman Asli

Asmiati Malik

Political Economic Analist

3 Fase Korupsi, Refleksi Kasus Korupsi e-KTP

Diperbarui: 20 April 2018   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: detik.com


Baru-baru ini, media di Indonesia secara intensif melaporkan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun. Sudah berbagai acara yang melibatkan analis politik, LSM, pakar untuk meembahas kembali kasus ini.

Ini bukan pertama kalinya media nasional sibuk melaporkan kasus koruspi. Bahkan Media Internasional seperti NY Times beberapa kali menempatkan headline tentang koruspi di Indonesia. Mulai dari jaman Suharto, Kepala Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dan sekarang mantan ketua DPR.

Pertanyaannya adalah bagaimana perilaku korupsi tersebut begitu subur di elit politik kita dan sudah masuk dalam sistem yang bersifat sangat oligarkis?

Sayangnya meskipun sudah diliput berbagai media. Tidak tampak rasa malu dari pelaku koruptor yang tertapkap bahkan banyak yang tersenyum dan  merasa tidak bersalah.

Mengapa demikian?

Pertama. Korupsi adalah perilaku manusia yang berdasarkan pada pertimbangan untung dan rugi. Seorang Professor yang ahli dalam perilaku ekonomi, Dan Ariely dari Duke University dalam bukunya The Honest Truth About Dishonesty; memberikan wawasan tentang dan pandangan baru tentang psikologi korupsi.

Dia mencatat bahwa setiap orang memiliki dua sisi kepribadian dan memiliki potensi untuk korup. Satu sisi ingin menjadi orang yang betul-betul jujur (jujur dalam konsep hakiki) dan sisi lain ingin mendapatkan keuntungan dari tidak jujur.

Pertanyaannya adalah bagaimana Anda dapat menjadi orang jujur jika Anda tidak jujur?. Ternyata, individu yang mengambil manfaat kecil dari yang hal tidak jujur masih menganggap diri mereka orang yang jujur.

Contoh kecil misalnya mengambil pulpen yang disediakan oleh kantor dan dibawa kerumah kemudian dipake untuk hal pribadi. Padahal peruntukannya untuk keperluan pekerjaan dan hak miliknya tetap dimiliki oleh kantor. Sehingga hak penggunaannya jadi bersifat terbatas dan berkondisi.

Hal ini disebabkan karena orang masih mencoba untuk merasionalisasi dasar perilaku mereka berdasarkan pendekatan analisis manfaat. Dengan melihat tindakan ini bukanlah hal yang bisa merusak orang lain. Ini adalah fase awal dari distorsi moralitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline