WARUNG kopi itu tak pernah sepi dari cerita. Hujan sore menjadi saksi bisu ratusan percakapan manusia yang singgah sebentar, meletakkan bebannya, lalu pergi lagi.
Koko dan Rike duduk di pojok, jauh dari keramaian. Gelas kopi mereka masih penuh, tapi hati mereka sudah terlalu sesak.
"Ke" suara Koko berat, "kamu tahu kenapa aku sering menghilang akhir-akhir ini?"
Rike mengangkat alisnya. "Aku menduga ada sesuatu. Tapi aku memilih menunggumu bercerita."
Koko menatap keluar jendela. Lampu jalan mulai menyala, berpendar samar di atas genangan air hujan. "Aku sudah terlalu lama menahan tangis. Sejak ayah pergi, aku seperti dipaksa menjadi pilar keluarga. Semua orang bilang aku harus kuat. Padahal aku cuma bocah dua belas tahun waktu itu."
Rike menaruh gelasnya, "Jadi sejak saat itu kamu belajar menyembunyikan air mata?" tanya Rike, penasaran.
Koko mengangguk. "Ibuku selalu bilang, 'jangan menangis, nanti adikmu ikut lemah.' Kata-kata itu menempel seperti paku di dinding hatiku. Sampai sekarang aku takut terlihat rapuh."
Hening merayap di antara mereka. Di luar, suara rintik sisa hujan terdengar seperti alunan musik yang pelan dan menyayat hati.
Rike lalu berkata, "Koko, tangisan bukan tanda rapuh. Ia adalah bahasa yang lebih jujur dari kata-kata. Lihatlah langit, ia menangis dengan hujan agar bumi kembali hidup. Tanpa tangis, dunia ini gersang."
Koko menoleh. "Tapi aku ini laki-laki. Semua orang menuntut ku jadi batu karang."