Salah satu tugas penting seorang asesor kompetensi adalah merencanakan aktivitas dan proses asesmen. Tugas ini bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif, melainkan merupakan wujud tanggung jawab profesional dalam memastikan bahwa instrumen asesmen benar-benar mengukur kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja. Seorang asesor dituntut untuk mampu merancang instrumen asesmen yang valid dan kontekstual, sehingga dapat mengungkap bukti nyata dari kompetensi seseorang dalam menghadapi situasi kerja sesungguhnya.
Namun, proses perancangan instrumen asesmen kerap menjadi tantangan tersendiri. Tidak sedikit asesor yang merasa kesulitan ketika diminta menyusun skenario tugas praktik demonstrasi. Pada banyak kasus, skenario yang dibuat masih terjebak dalam bentuk narasi yang kaku dan kurang menggambarkan kondisi nyata di tempat kerja.
Dalam asesmen berbasis kompetensi, tugas praktik demonstrasi seharusnya mencerminkan konteks pekerjaan yang sesungguhnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Mulder (2014) yang menegaskan bahwa asesmen kompetensi harus dirancang dalam konteks yang autentik agar dapat mengukur kemampuan seseorang dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilannya di situasi kerja nyata.
Di sinilah pentingnya memahami struktur berpikir di balik penyusunan skenario asesmen yang baik, sebuah cara berpikir yang menghubungkan standar kompetensi dengan realitas dunia kerja. Seperti dijelaskan oleh Judith A. Hale (2000), "Effective assessment design begins with a clear understanding of the relationship between job tasks and the observable evidence that demonstrates competence." Dengan kata lain, skenario asesmen bukan sekadar kumpulan instruksi teknis, tetapi merupakan refleksi dari cara kerja profesional yang ingin diuji.
Salah satu pendekatan yang terbukti efektif dalam merancang skenario asesmen adalah pola STAR (Situation, Task, Action, Result). Pola ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1970-an oleh para konsultan manajemen di bidang sumber daya manusia sebagai teknik wawancara perilaku (behavioral event interview). Tujuannya adalah membantu pewawancara menggali bukti kompetensi melalui pengalaman nyata kandidat. Pola tersebut kemudian diadaptasi secara luas dalam asesmen berbasis kompetensi karena kemampuannya menghubungkan pengalaman kerja, tindakan, dan hasil yang dapat diukur (Spencer & Spencer, 1993).
Pola STAR dapat dijadikan panduan sistematis dalam menyusun skenario tugas praktik demonstrasi. Melalui pola ini, asesor menyusun alur secara logis dan kontekstual: memulai dari Situation (situasi kerja), menetapkan Task (tugas utama yang harus dilakukan), menjabarkan Action (langkah atau tindakan kerja yang dilakukan), dan menutup dengan Result (hasil yang diharapkan).
1. Situation
Narasi Situation diawali dengan mencantumkan judul skema sertifikasi sebagai acuan asesmen. Langkah ini membantu menegaskan level, jabatan, atau jenis pekerjaan yang diuji, sekaligus menempatkan asesmen dalam konteks yang jelas dan terarah. Setelah itu, narasi memuat kelompok pekerjaan atau klaster tugas (work cluster) yang menjadi fokus asesmen. Setiap klaster menggambarkan bagian pekerjaan yang akan diuji dan dapat dinilai melalui satu skenario praktik demonstrasi.
Pemahaman tentang pengelompokan pekerjaan atau klaster tugas ini dilandasi oleh kajian teoretis, yaitu konsep Job Analysis yang menjadi dasar dalam pengembangan standar kompetensi dan asesmen kompetensi. Seperti dijelaskan oleh Dessler (2020), Job Analysis bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan tanggung jawab utama suatu jabatan, atau dengan kata lain, menjawab pertanyaan "Pekerjaan apa saja yang dilakukan seseorang dalam jabatan ini?" Melalui pemahaman ini, asesor dapat menyusun klaster tugas yang relevan dan menggambarkan realitas pekerjaan secara akurat dalam skenario asesmen.
Selanjutnya, narasi memuat situasi kerja yang menantang, yaitu gambaran kondisi nyata yang mungkin dihadapi seseorang dalam menjalankan tugas pada jabatan tersebut. Narasi ini berfungsi sebagai "cerita latar" yang menguji kemampuan asesi dalam mengelola berbagai tugas secara profesional. Situasi semacam ini dirancang bukan untuk menjebak, melainkan untuk menghidupkan konteks asesmen agar terasa autentik dan relevan dengan dunia kerja. Dalam kondisi seperti itu, asesi diharapkan mampu mengelola prioritas saat menghadapi tekanan pekerjaan, tetap menjaga kualitas hasil, dan menampilkan sikap profesional di tengah dinamika situasi kerja.
2. Task
Setelah Job Analysis dilakukan pada tahap penulisan Situation, langkah berikutnya adalah melakukan Task Analysis. Jika Job Analysis membantu kita memahami apa yang dikerjakan seseorang dalam jabatannya, maka Task Analysis membantu menjelaskan bagaimana pekerjaan itu dilakukan melalui serangkaian tugas yang lebih kecil, spesifik, dan dapat diukur (Miller, Linn, & Gronlund, 2009).