Lihat ke Halaman Asli

Ari J. Palawi

Petani Seni dan Akademisi

WhatsApp Grup: Ramainya Nama, Sepinya Suara

Diperbarui: 18 Mei 2025   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Minta Api" (Melawai [Blok-M], Kebayoran Baru 2019)

Kapan terakhir kali grup WhatsApp Anda terasa hidup, hangat, dan menyenangkan?

Saya sendiri sudah tidak ingat pasti. Dulu, saat fitur grup WhatsApp mulai populer, kita seolah menemukan ruang berkumpul baru yang tak terbatas tempat dan waktu. Di sana ada keluarga besar yang saling bertukar kabar, teman lama yang reuni dalam obrolan virtual, bahkan kelompok diskusi yang menghadirkan banyak wawasan dan peluang. Grup-grup itu tumbuh seperti taman, penuh warna dan semangat.

Namun, waktu berjalan, dan suasana berubah. Sekarang, banyak grup yang saya ikuti terasa lebih seperti etalase sosial---sebuah papan pengumuman digital yang isinya didominasi kabar duka, ucapan selamat atas kenaikan jabatan, atau info resmi yang terasa dingin. Interaksi personal hampir hilang. Menyapa seperti mengucap salam ke gua kosong, sunyi dan tak bersambut.

Sebagai seorang dosen, saya setiap semester pasti masuk ke grup-grup WhatsApp baru. Setiap kelas, setiap mata kuliah, pasti ada grupnya. Harapannya tentu mulia: sebagai wadah komunikasi antara saya dan mahasiswa. Tapi yang terjadi? Grup-grup itu cepat terasa berat sebelah. Saya seperti mesin perintah: memberi tugas, mengingatkan deadline, membagikan link Zoom, atau menyampaikan pengumuman teknis.

Respons dari mahasiswa? Hampir selalu sama. "Baik, Pak." "Siap, Pak." Sopan, tapi hambar. Jika pun ada pertanyaan, nadanya kaku, hati-hati, nyaris tanpa rasa. Saya sering bertanya-tanya: apakah mereka benar-benar takut salah, atau memang tidak merasa terhubung? Padahal ruang digital ini mestinya bisa menjadi jembatan, bukan sekadar papan tempel perintah.

Yang lebih menyedihkan, hal ini tak hanya terjadi di grup kelas. Grup-grup komunitas dosen, alumni, atau organisasi sosial pun banyak yang bernasib serupa. Hanya beberapa orang yang aktif, dan biasanya itu-itu saja. Yang lain jadi penonton tetap, lebih suka membaca diam-diam ketimbang terlibat. Diskusi yang hidup nyaris tak ada. Canda-canda kecil menghilang. "Rasa kampus" yang seharusnya menghidupkan semangat kolegial dan kekeluargaan, lenyap digantikan formalitas yang dingin.

Mengapa ini terjadi?

Mungkin kita semua sedang terlalu lelah. Atau terlalu banyak grup. Atau terlalu takut dinilai. Takut dinilai remeh. Takut salah ketik. Takut dibilang cerewet. Padahal, komunikasi informal lah yang kadang justru mempererat hubungan. Tapi tampaknya, dalam banyak grup WhatsApp sekarang, semua orang seperti mengenakan topeng digital. Kita menjaga citra, menjaga kata, menjaga "jarak" dalam ruang yang sebenarnya diciptakan untuk mendekatkan.

Ironis, bukan?

Ada juga faktor teknis. Notifikasi grup terlalu banyak. Satu orang kirim gambar, langsung disusul lima stiker. Grup jadi bising. Banyak orang akhirnya memilih "mute", tak lagi ikut membaca. Akibatnya, saat muncul pesan penting, semua terlewat. Lalu muncul pertanyaan yang sama diulang-ulang karena tak ada yang membaca obrolan sebelumnya. Grup makin melelahkan. Makin tidak efektif.

Tapi... apa kita harus menyerah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline