Pendahuluan
Pada awal April 2025, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengumumkan rencana evakuasi 1.000 warga Palestina dari Jalur Gaza ke Indonesia. Pernyataan ini disampaikan setelah melakukan konsultasi diplomatik dengan lima negara utama di kawasan Timur Tengah: Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania. Rencana ini digambarkan sebagai misi kemanusiaan yang bersifat sementara dengan fokus pada penyelamatan korban luka, perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya yang terdampak konflik brutal yang berlangsung antara militer Israel dan kelompok perlawanan Palestina di Gaza.
Latar belakang dari rencana ini tidak bisa dilepaskan dari konteks konflik Palestina-Israel yang kembali memanas sejak Oktober 2023, menyusul serangan lintas batas oleh Hamas ke wilayah Israel dan balasan Israel yang sangat masif ke Gaza. Serangan udara, blokade, serta pembatasan akses terhadap bantuan kemanusiaan mengakibatkan krisis kemanusiaan yang akut: ribuan warga sipil tewas, jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal, dan fasilitas publik seperti rumah sakit serta sekolah hancur lebur. Gaza menjadi medan bencana besar dengan tingkat kehancuran hampir total, sehingga dunia internasional menghadapi tekanan moral dan politik untuk bertindak.
Indonesia sebagai negara dengan posisi politik luar negeri yang bebas-aktif dan sejarah panjang dukungan terhadap kemerdekaan Palestina melihat peluang untuk memperkuat diplomasi kemanusiaannya melalui tindakan konkret: menyelamatkan nyawa dengan mengevakuasi warga Gaza ke wilayah Indonesia. Namun rencana ini bukan tanpa tantangan. Muncul berbagai reaksi dari publik dan kalangan akademisi, mulai dari dukungan moril atas dasar nilai kemanusiaan hingga kekhawatiran terkait dampak sosial, hukum, ekonomi, bahkan politik domestik. Beberapa pihak mempertanyakan urgensinya, mengingat Indonesia masih bergelut dengan persoalan domestik seperti stunting, kemiskinan ekstrem, dan pengangguran.
Di sinilah pentingnya menyikapi rencana ini bukan sekadar secara emosional atau simbolik, melainkan secara ilmiah dan multidisipliner. Rencana ini harus dilihat tidak hanya sebagai instrumen kemanusiaan, tetapi juga sebagai tindakan negara yang memiliki konsekuensi dalam aturan hukum, anggaran negara, struktur sosial, dan stabilitas politik dalam dan luar negeri. Tulisan ini hendak menguraikan rencana evakuasi tersebut secara kritis dari perspektif hukum internasional, ekonomi makro, kriminologi, dan politik luar negeri Indonesia, agar publik dan para pembuat kebijakan dapat melihat rencana ini dengan kacamata yang lebih luas, realistis dan terukur.
Dimensi Hukum: Antara Prinsip Kemanusiaan dan Kedaulatan Yuridis
Secara konseptual, gagasan untuk mengevakuasi 1.000 warga sipil Gaza ke Indonesia dapat diposisikan sebagai implementasi normatif dari prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, khususnya yang termuat dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I 1977. Dalam konteks ini, tindakan evakuasi bersifat jus cogens, yakni norma imperatif yang berlaku universal dan tidak dapat dikesampingkan sebagaimana termanifestasi dalam asas non-refoulement dan prinsip protection of civilians in armed conflict. Hal ini juga merupakan implementasi dari prinsip Responsibility to Protect (R2P) yang berkembang dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasca tragedi Rwanda dan Bosnia. Negara-negara dianggap memiliki tanggung jawab untuk melindungi populasi dunia dari kejahatan kemanusiaan seperti genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini, kondisi Gaza yang dibombardir secara sistemik dan mengalami blokade total secara de facto, memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma. Oleh karena itu, secara moral dan hukum internasional, evakuasi warga sipil oleh negara ketiga bukan hanya legal, melainkan merupakan tindakan positif dalam kerangka hukum humaniter internasional.
Namun demikian, dalam diskursus hukum positif Indonesia, tindakan seperti ini berada dalam wilayah abu-abu yuridis karena absennya konstruksi normatif eksplisit mengenai mekanisme penampungan pengungsi temporer akibat konflik eksternal yang tidak dalam kerangka permohonan suaka atau status pengungsi menurut UNHCR. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, serta Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri tidak secara eksplisit mengatur mekanisme jangka pendek untuk penampungan warga negara asing dari zona konflik, kecuali dalam kerangka pengungsi PBB (UNHCR). Hal ini membuka ruang problematika normatif terkait klasifikasi hukum dari para pengungsi tersebut: apakah mereka akan diperlakukan sebagai pengungsi (refugee), orang terlantar lintas batas (displaced persons), atau sekadar tamu negara?
Lebih jauh lagi, absennya mekanisme hukum yang rinci akan berimbas pada kaburnya parameter perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar mereka selama masa penampungan, seperti hak atas perawatan kesehatan, kebebasan bergerak, hak atas pendidikan, perlindungan hukum dari diskriminasi, serta potensi kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif keimigrasian. Padahal, dalam kerangka negara hukum yang demokratis, perlakuan terhadap individu, tak terkecuali warga negara asing, harus tunduk pada prinsip due process of law dan perlindungan hak asasi manusia. Tanpa kepastian hukum yang kuat, negara akan kesulitan menjamin perlindungan ini tanpa menimbulkan friksi konstitusional. Dalam hal ini, terdapat kebutuhan mendesak untuk menerbitkan lex specialis yang secara khusus mengatur mekanisme evakuasi kemanusiaan bersifat temporer sebagai bagian dari respon negara terhadap krisis global, yang bersifat lintas batas dan multidimensi.
Warga dari Aqsa Working Group melakukan aksi dukungan terhadap Palestina di depan Kedubes Amerika Serikat, Jakarta (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)
Dimensi Ekonomi: Di Antara Keadilan Fiskal dan Biaya Simbolik Internasional