Beberapa waktu lalu, seorang teman aktivis inklusi disabilitas, yang juga seorang penyandang disabilitas mengatakan sesuatu yang membuat saya terdiam: "Inklusi disabilitas saat ini hanya sebatas diskusi di balik dinding-dinding hotel." Ucapan itu menohok, namun sekaligus membuka mata. Saya menyadari bahwa isu inklusi disabilitas memang sedang hangat diperbincangkan. Ia seringkali menjadi kata kunci "sakti" di mata para pendonor (dengan berbagai macam terminilog - Inklusif, GEDSI,dll), bahkan sering dipakai sebagai tiket strategis untuk mengakses pendanaan oleh lembaga-lembaga implementer. Namun, jika kita jujur, berapa banyak dari diskusi-diskusi itu yang benar-benar melahirkan perubahan nyata di lapangan?Kondisi yang terlihat masih jauh dari harapan. Aksesibilitas di ruang publik masih terbatas, partisipasi bermakna penyandang disabilitas dalam proses pengambilan keputusan jarang terwujud, dan peluang ekonomi setara masih langka. Sementara itu, jargon inklusi disabilitas terus bergema di ruang-ruang konferensi, seolah menjadi komoditas baru bagi kaum intelektual untuk menjaga eksistensi dan keamanan finansial mereka(?).
Tokoh-tokoh disabilitas yang muncul dalam ruang-ruang wacana publik tidak banyak bertambah. Dari satu isu ke isu lain, kita masih sering menemukan "dia lagi, dia lagi". Situasi ini membuat regenerasi kepemimpinan disabilitas berjalan lambat, bahkan stagnan. Alih-alih membuka ruang bagi kader-kader muda dan pemimpin lokal penyandang disabilitas, panggung sering kali diisi oleh orang yang sama berulang kali. Lebih ironis lagi, banyak diskusi tentang inklusi disabilitas masih didominasi oleh narasumber dari kalangan non-disabilitas. Padahal, bukankah ada tagline yang selalu kita dengungkan adalah Nothing about us without us?
Ketika suara penyandang disabilitas sendiri tidak diberi ruang utama, maka inklusi berpotensi kehilangan maknanya. Alih-alih memperluas partisipasi, kita justru mempersempit ruang tumbuh bagi mereka yang seharusnya menjadi subjek utama perjuangan ini. Kritik ini menyakitkan, tetapi penting. Ia menuntut kita untuk bercermin, apakah kita sedang benar-benar memperjuangkan hak dan kesetaraan, atau sekadar mempermainkan narasi yang enak didengar oleh donor untuk melanggengkan pendanaan?
Kawan, mari kita buktikan bahwa inklusi bukan sekadar label proyek. Inklusi adalah kerja panjang untuk membongkar hambatan struktural, mengubah cara pandang masyarakat, dan memastikan penyandang disabilitas tidak lagi diposisikan sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai subjek pembangunan. Barangkali pertanyaan yang harus kita ajukan hari ini adalah, apakah inklusi disabilitas akan berhenti sebagai retorika di balik pintu hotel, atau sudah saatnya ia diwujudkan dalam keberanian politik, kebijakan konkret, dan perubahan nyata di tingkat akar rumput?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI