Lihat ke Halaman Asli

annisayumna

Mahasiswa

Lawar Plek: Antara Tradisi, Gizi, dan Risiko Kesehatan

Diperbarui: 18 Maret 2025   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lawar merupakan salah satu makanan tradisional khas Bali yang dibuat menggunakan campuran daging atau ikan, sayuran, dan bumbu 'basa genep'. Bukan hanya sekedar lauk, lawar juga memiliki nilai tradisi yang sakral bagi masyarakat Bali. Lawar digunakan sebagai sarana dalam upacara keagamaan maupun upacara adat, seperti di pura, pernikahanan, bahkan kematian. Lawar juga disajikan apabila terdapat acara kumpul keluarga, sehingga menjadikannya simbol kebersamaan, gotong royong, dan identitas sosial dari komunitas Hindu di Bali.  

Tiga bahan utama dari lawar adalah rames, ketekan, dan jukut. Rames merupakan potongan kulit hewan yang direbus kemudian dipotong korek api. Jukut merupakan sayuran rebus (sayur nangka, pepaya muda, daun belimbing, ataupun kacang panjang) yang dicincang kasar. Ketekan adalah daging yang dicincang halus, diberi bumbu Bali 'basa genep', dibungkus daun pisang, kemudian dipanggang hingga matang atau setengah matang. Dari segi nutrisi, lawar mengandung protein, serat, vitamin, dan mineral yang cukup tinggi dari bahan-bahan yang digunakan. Masyarakat dan beberapa turis mengatakan bahwa mereka merasa lebih berenergi setelah mengonsumsi lawar.

Terdapat dua jenis lawar di Bali, yaitu lawar putih dan lawar merah. Lawar merah juga disebut sebagai lawar plek merupakan jenis lawar yang unik karena menggunakan daging mentah dan darah segar (umumnya darah dan daging babi) yang dicampur dengan bahan lain supaya menghasilkan warna merah. Bagi masyarakat Bali, lawar plek merupakan hidangan yang sangat digemari, namun bagi masyarakat lain makanan ini menimbulkan pro dan kontra terutama berkaitan dengan keamanannya dari kontaminasi bakteri.

Kasus keracunan setelah mengonsumsi lawar plek tidak hanya satu dua kali terjadi. Dilansir dari detikbali, terdapat 27 kasus suspek Meningitis Streptococcus Suis (MSS) dengan 1 diantaranya meninggal dunia  di Gianyar usai mengonsumsi lawar plek pada tahun 2023. Tidak berhenti sampai di situ, pada Mei 2024, juga terdapat 12 kasus dugaan meningitis seusai konsumsi lawar plek pada acara magibung (makan bersama) di Karangasem, Bali. Gejala yang dirasakan pun relatif sama, yakni demam, sakit kepala, kaku kuduk, mual, muntah, hingga penurunan kesadaran. Hal ini dengan tegas menunjukkan bahwa terdapat risiko kesehatan yang mungkin terjadi akibat mengonsumsi daging dan darah segar yang terkandung dalam lawar plek.

Kebiasaan konsumsi lawar plek dalam upacara adat maupun perayaan tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan dapat menyebabkan penyebaran penyakit dalam komunitas. Dalam jangka panjang, hal ini dikhawatirkan dapat berdampak pada kesehatan organ tubuh, terutama hati dan pencernaan. Beberapa penelitian mengatakan bahwa terdapat kontaminasi bakteri E. coli, Salmonella sp.,  Streptococcus suis pada lawar plek. Potensi infeksi cacing Taenia solium dan Taenia saginata juga menjadi risiko dalam konsumsi lawar plek karena menggunakan daging dan darah segar yang tidak matang. Risiko ini menjadi semakin meningkat jika lawar plek dibuat dalam kondisi yang tidak higienis. Penggunaan peralatan yang tidak steril, penyimpanan bahan yang tidak sesuai standar, serta kurangnya kesadaran tentang keamanan pangan dapat memicu kontaminasi silang.

Kontaminasi silang terjadi ketika mikroorganisme berbahaya berpindah dari satu bahan ke bahan lain, biasanya melalui tangan, peralatan, atau permukaan kerja. Untuk mencegahnya, sangat penting untuk menggunakan talenan dan pisau yang berbeda untuk daging mentah dan sayuran, mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah menangani bahan mentah, serta membersihkan peralatan dengan cairan disinfektan setelah digunakan. Penggunaan sarung tangan saat mengolah bahan mentah juga dapat membantu mengurangi risiko perpindahan bakteri dari tangan ke makanan.

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan lawar harus selalu dalam kondisi bersih untuk mengurangi risiko infeksi. Metode sterilisasi yang direkomendasikan antara lain menggunakan air panas dengan suhu minimal 85C untuk merendam pisau, talenan, dan wadah selama 30 detik agar bakteri mati. Selain itu, peralatan juga dapat direndam dalam larutan klorin food grade (50 ppm) selama satu menit, lalu dibilas dengan air bersih. Jika memungkinkan, sterilisasi menggunakan uap panas dengan suhu di atas 100C selama 10--15 menit juga dapat dilakukan untuk memastikan peralatan benar-benar bersih.

Meskipun risiko kesehatan yang ditimbulkan cukup tinggi, masyarakat Bali tetap mengonsumsi lawar plek. Faktor utamanya adalah aspek sensoris yang unik, mulai dari rasa gurih, tekstur yang khas, hingga aroma rempah yang kuat dari 'basa genep'. Bagi sebagian besar masyarakat, lawar plek bukan sekadar makanan, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan tradisi turun-temurun yang sulit dilepaskan. Faktor sosial dan adat juga berperan besar, terutama dalam upacara keagamaan dan ritual tertentu yang mengharuskan penyajian lawar plek. Dilema antara mempertahankan tradisi dan menjaga kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Bali dalam menikmati hidangan khas ini.

Guna mengurangi risiko, terdapat beberapa solusi yang bisa diterapkan. Salah satunya adalah dengan mengganti darah dengan bahan lain yang lebih aman seperti cabai merah untuk memberikan warna. Selain itu, terdapat pilihan lawar lain yang menggunakan bahan-bahan matang dan lebih aman tanpa harus mengurangi nilai budaya dari makanan khas Bali satu ini. Pemerintah daerah dan dinas kesehatan juga dapat menetapkan standar keamanan pangan khusus bagi makanan tradisional yang menggunakan bahan mentah, termasuk inspeksi berkala terhadap tempat produksi lawar. Selain itu, sertifikasi higienitas bagi pedagang lawar dapat menjadi solusi untuk memastikan produk yang dijual aman dikonsumsi. Edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya konsumsi daging dan darah mentah juga penting dilakukan. Dengan adanya inovasi dalam pengolahan lawar plek yang lebih sehat, masyarakat Bali tetap dapat melestarikan kuliner tradisional ini tanpa harus mengorbankan kesehatan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline