Suatu pagi di tepi pantai Pangandaran,
Perlahan sang mentari tampil di antara mega, menerangi bumi Pangandaran, deru angin pantai berhembus menyentuh wajah saya, suara ombak seolah menyapa saya. Hari semakin siang ketika saya melangkah meninggalkan area pantai menuju ke sebuah warung kecil yang menjajakan kopi dan makanan.
Saya pun singgah di warung itu, seorang ibu muda dengan sigap penuh keramahan menyambut saya, "Silakan duduk, mau pesan apa?"
Bagi saya segelas kopi pahit akan terasa menyegarkan setelah sekujur badan saya disapa angin pantai dan sinar matahari pagi, lantas saya memesan segelas kopi dan menyantap sepotong pisang rebus yang rasanya manis, sangat nikmat.
Kisah Teh Nia, Pedagang Kopi di Pangandaran
Ibu muda itu biasa dipanggil teteh (mbak) Nia, seorang pedagang kopi, kiosnya tak jauh dari pantai Pangandaran. Teh Nia biasa membuka kiosnya mulai pukul 6 pagi hingga tutup pada malam hari pukul 10.
"Ya, sehari-hari seperti ini, dagang kecil-kecilan, untuk biaya hidup dan sekolah anak," ujar Teh Nia dengan nada ramah. Percakapan kami mengalir, seolah keakraban terjadi begitu saja, kami pun saling bertukar cerita tentang kesan pantai Pangandaran.
Menikmat segelas kopi di tepi pantai (dokumentasi pribadi)
Hingga Teh Nia bercerita tentang usaha yang dijalaninya ini dan sedikit mengenai keluarganya. Menurut pengakuannya, warung kopi tempat usahanya itu dirintis orang tuanya, dan kini dilanjutkan olehnya, sementara suaminya adalah nelayan.
"Jatuh bangun, kami sekeluarga mencari nafkah, pas waktu corona, itu masa yang susah banget, di sini sepi ga ada pengunjung. Waktu itu anak saya baru lahir, eh malah kena tipu investasi bodong juga, sedih kalo diinget lagi," tuturnya dengan nada getir.