Dalam dunia yang terus bergerak, perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti. Kita tumbuh, belajar, terluka, jatuh, lalu bangkit kembali. Di sepanjang perjalanan itu, sering muncul pertanyaan: “Apakah saya masih orang yang sama dengan diri saya di masa lalu?” Pertanyaan ini terasa sederhana, tetapi jawabannya tidak sesederhana itu.
Filsafat kuno sebenarnya sudah lama memikirkan hal ini melalui sebuah paradoks yang dikenal sebagai Ship of Theseus atau “Kapal Theseus”. Dalam konteks Indonesia, kita bisa menyebutnya sebagai “kapal diri", sebuah metafora tentang siapa kita sebenarnya, bagaimana kita berubah, dan apa yang tetap bertahan di tengah arus kehidupan.
Artikel ini akan mengajak Anda memahami teori Ship of Theseus, mengaitkannya dengan identitas pribadi, lalu merefleksikan bagaimana kita bisa menavigasi perubahan tanpa kehilangan arah.
Apa Itu Paradoks Ship of Theseus?
Paradoks Ship of Theseus diceritakan oleh filsuf Yunani kuno, Plutarch. Ia menuliskan tentang kapal milik pahlawan legendaris Theseus yang dijaga oleh warga Athena. Setiap kali papan atau bagian kapal membusuk, mereka menggantinya dengan yang baru. Hingga pada suatu titik, seluruh bagian kapal sudah diganti.
Pertanyaannya:
" Apakah kapal itu masih kapal yang sama? "
Beberapa abad kemudian, filsuf Thomas Hobbes menambahkan lapisan baru pada dilema ini. Ia berandai-andai, bagaimana jika bagian-bagian kapal lama yang sudah diganti disusun kembali menjadi kapal kedua? Mana yang asli, kapal yang terus diperbarui, atau kapal yang dirakit dari bagian lama?
Paradoks ini menantang cara kita memandang identitas, keberlanjutan, dan keaslian. Ia tidak hanya relevan untuk benda mati seperti kapal, tapi juga untuk manusia, karena kita juga terus berubah seiring waktu.
Kapal Diri: Metafora untuk Identitas Pribadi
Bayangkan diri Anda sebagai kapal. Sejak lahir, Anda memiliki struktur awal: tubuh, nama, keluarga, budaya, dan nilai-nilai dasar. Seiring berjalannya waktu, satu per satu bagian dari “kapal diri” itu berganti.
* Pendidikan mengubah cara berpikir.