Lihat ke Halaman Asli

Andrea Wiwandhana

Digital Marketer

Dilema Pejaten Shelter, Sosok Penyelamat yang Dihujat Masyarakat

Diperbarui: 1 Juli 2025   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anjing Kecil (Sumber: petpintar.com)

Dalam satu dekade terakhir, Pejaten Shelter telah menjadi oase bagi ribuan hewan telantar, khususnya anjing dan kucing, yang tidak memiliki tempat tinggal di Jakarta. Di tengah kota yang semakin padat dan tidak ramah terhadap hewan jalanan, keberadaan tempat perlindungan ini sejatinya menyelamatkan banyak nyawa. Namun ironisnya, kini tempat yang seharusnya menjadi simbol kepedulian justru berada dalam tekanan publik yang luar biasa. Pejaten Shelter menghadapi desakan untuk ditutup, bukan karena ketidakpedulian, melainkan karena ketakutan dan ketidaknyamanan warga sekitar.

Peristiwa kaburnya beberapa hewan, termasuk babi dari shelter tersebut, menjadi pemantik baru atas keresahan yang sudah lama disimpan oleh masyarakat di sekitarnya. Meski insiden seperti itu adalah kasus yang sangat jarang, namun persepsi publik terlanjur terguncang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun merespons dengan melakukan kunjungan serta mempertimbangkan langkah penataan ulang.

Saya bisa memahami dua sisi dari permasalahan ini. Di satu sisi, masyarakat tentu memiliki hak atas rasa aman dan nyaman di lingkungan tempat tinggal mereka. Tak dapat disangkal bahwa tidak semua orang menyukai atau terbiasa hidup berdampingan dengan hewan, terlebih jika jumlahnya mencapai ratusan. Apalagi Pejaten Shelter berada di kawasan yang padat, bukan di wilayah yang secara khusus didesain untuk tempat penampungan satwa.

Namun di sisi lain, penutupan shelter bukanlah solusi yang serta-merta menyelesaikan persoalan. Justru akan menciptakan masalah baru: ke mana ribuan hewan itu akan pergi? Melepas mereka ke jalan tentu bukan langkah bijak. Anjing-anjing tersebut akan kembali hidup terbuang di jalanan yang keras dan tidak manusiawi. Apalagi Jakarta bukan kota yang ramah untuk anjing liar dapat bertahan hidup. Di sisi lain, membiarkan shelter berjalan tanpa solusi jangka panjang juga bukan pilihan yang tepat.

Salah satu solusi yang memungkinkan adalah relokasi shelter ke wilayah yang lebih sesuai, jauh dari pemukiman padat, atau bahkan di daerah yang masyarakatnya memang lebih terbuka dan mencintai hewan. Namun, relokasi bukan perkara mudah. Selain butuh properti baru yang luas dan sesuai, tantangannya juga mencakup biaya operasional yang besar. Proses pencarian lahan sendiri membutuhkan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit.

Jika masyarakat sekitar shelter benar-benar merasa terganggu, maka partisipasi aktif mereka dalam menyusun solusi sangat dibutuhkan. Jangan hanya berhenti pada tuntutan penutupan. Misalnya, mendorong inisiasi penggalangan dana atau menyebarkan konten sosial untuk mendukung relokasi shelter bisa menjadi langkah awal yang konstruktif. Sosialisasi dan edukasi publik mengenai fungsi dan pentingnya shelter bagi kehidupan urban juga perlu terus dilakukan.

Persoalan ini tidak bisa hanya diserahkan pada satu pihak. Masyarakat yang terdampak dan komunitas pecinta hewan harus bertemu di titik tengah. Salah satu caranya adalah dengan membangun skema transparan: Pejaten Shelter bisa membuat kampanye digital bahwa mereka bersedia pindah jika tercapai donasi dengan target tertentu. Masyarakat pun bisa berkontribusi tanpa harus menyumbang materiil --- cukup menyebarkan informasi kampanye itu saja sudah membantu.

Jika Pejaten Shelter tetap ingin mempertahankan keberadaan mereka di kota agar adopsi hewan tetap berjalan, maka tempat pertemuan dengan calon adopter bisa dibuat lebih kecil dan bersifat showroom. Katalog hewan yang siap adopsi dapat ditampilkan melalui akun Instagram khusus, berbeda dari akun shelter utama, agar terfokus dan lebih rapi. Dengan begitu, shelter bisa memindahkan operasional penuh ke tempat yang lebih terpencil namun tetap menjaga konektivitas dengan masyarakat kota.

Tentu kita semua berharap agar polemik ini bisa segera mereda. Kita harus memastikan bahwa hewan-hewan di shelter tetap aman, dan warga sekitar bisa kembali merasa nyaman. Yang dibutuhkan bukan saling menyalahkan, tapi kolaborasi. Dunia yang ideal bukanlah dunia tanpa konflik, tapi dunia di mana kita bisa menyelesaikan konflik dengan empati dan solusi yang berpihak pada semua pihak, termasuk mereka yang tidak bersuara: hewan-hewan itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline