Lihat ke Halaman Asli

Andi Samsu Rijal

Dosen/ Writer

Tradisi Masyarakat Bugis dalam Acara Mappalette Bola (Tradisi Memindahkan Rumah Panggung)

Diperbarui: 3 Januari 2025   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tradisi angkat rumah, sumber; viva.com

Masyarakat Bugis memiliki beragam tradisi yang masih dipertahankan hingga kini. Salah satunya adalah tradisi mappalette bola atau tradisi memindahkan rumah panggung dengan cara mengangkatnya secara manual. Tradisi tersebut tentu melibatkan banyak orang agar proses pengangkatannya berjalan lancar, termasuk dalam meminimalisir kerusakan, menghemat waktu dan menghemat biaya. Tradisi mappalette bola tersebut dilakukan bagi kalangan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan yang memiliki rumah panggung namun karena sesuatu hal sehingga harus dipindahkan dari tempat semula ke tempat tujuan baru.

Pemindahan rumah panggung di tanah Bugis tentu memiliki beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah karena alasan salah satu anggota keluarganya sudah berumah tangga baru sehingga mereka harus memiliki rumah baru. Biasanya orang tua mereka akan membangun rumah sendiri atau sebaliknya pengantin baru tersebut yang akan membangun rumah baru di tanah warisan dari orang tuanya. Sebagai keluarga baru, tentu harus berpisah rumah dengan orang tuanya, keluar dari kartu keluarga (KK) dan membuat kartu keluarga baru termasuk rumah kepemilikan nantinya. Di rumah tersebut mereka akan membangun rumah tangga yang terkadang dianalogikan rumah panggung yang memiliki tangga.

Alasan selanutnya adalah biasanya rumah panggung laku terjual atau pihak pembeli akan mengangkatnya ke suatu tempat. Dengan alasan ini sehingga rumah panggung tersebut diangkat secara ramai---ramai ke tempat lain, ke pemilik baru. Mengingat bahwa rumah kayu atau rumah panggung di tanah Bugis memiliki ketahanana hingga berpuluh-puluh tahun. Bahkan rumah kayu tersebut terkadang menjadi warisan bagi anak yang tinggal lama bersama orang tua hingga ke cucu kelak. Terlebih jika rumah tersebut memiliki sejarah, kayu yang bagus, dan memiliki sissi atau karakter yang kuat. Sebab terkadang dalam pembuatan rumah panggung ada yang tidak sesuai dengan karakteristik pemilik, ada pula yang cocok mendatangkan mudarat (terlepas dari mitos yang berkembang).

Demikian alasan lainnya seperti di awal pembangunan rumah panggung tersebut dimaksud adalah berdiri di atas tanah keluarga, tetangga atau kerabat. Sementara saat mereka berumah tangga belum memiliki hak kepemilika tanah yang sah, sehingga ketika sudah memiliki tanah maka pemindahan rumah dilakukan. Kejadian ini banyak ditemukan di kalangan masyarakat Bugis bahwa bagi keluarga rumah tangga baru sering dibantu dari kelompok orang-orang tertentu yang memiliki kecukupan lahan perumahan bukan lahan kebun atau sawah. Tidak heran jika diusia pernikahan lima hingga sepuluh tahun maka mereka terpaksa memindahkan rumah panggung mereka dengan alasan bahwa sudah memiliki tanah sendiri.

Biasanya tradisi mappalette bola ini dilakukan jika salah satu masyarakat ingin pindah lokasi rumah, ingin menjual lokasinya namun rumahnya tidak demikian. Biasanya rumah yang dipindahkan tentu bukan rumah batu seperti yang kita jumpai di kota-kota melainkan rumah kayu. Rumah tersebut adalah rumah adat Bugis, dengan berbagai karakteritiknya sehingga sayang jika dijual. Bahkan beberapa rumah panggung lainnya masih bagian dari peninggalan moyangnya yang memiliki karismatik tersendiri bahkan beberapa di antaranya memiliki rakkeang, semacama tempat penyimpanan hasil panen padi di zaman dahulu yang temparnya berada antara bagian atap rumah  panggung dengan ruangan rumah.

Rumah panggung atau rumah adat dalam tradisi ini adalah rumah kayu khas masyarakat Bugis Sulawesi Selatan. Dimana rumah dimaksud terbuat dari kayu dengan kualitas bagus sehingga dapat digunakan bagi generasi pemiliknya. Bahkan para tukang kayu (panre bola) yang mengerjakan rumah kayu di tanah Bugis ada yang memiliki rangka, tiang dan balok yang dirakit tanpa menggunakan paku. Bentuk bangunan persegi panjang yang dibuat memanjang ke arah belakang. Dengan memiliki atap bserta timpa laja, semacam penutup antara atap dengan angka rumah yang berbentuk segitiga bahkan terkadang bertingkat-tingkat bergantung tingkat sosial masyarakat tersebut di kampungnya.

Dalam tradisi mappalette bola, tidak dilakukan begitu saja melainkan ada panre bola (tukang atau seorang yang cerdik pandai dalam pembuatan rumah kayu). Panre bola inilah yang akan menjadi komando dalam proses pengangkatan rumah, sebab ia tahu bagian mana saja yang mesti diprioritaskan untuk dijaga dengan baik seperti possi bola (bagian tengah rumah). Selain kehadiran panre bola tersebut, juga beberapa syarat lain yang mesti diperhatikan antara lain perabot rumah tangga di rumah harus dikeluarkan dari rumah untuk menghindari kerusakan, cermin dan bahan pecah belah lainnya. Kemudian tiang-tiang di bawah rumah panggung dilekatkan dengan bambu yang berguna sebagai tempat bertumpu para lelaki dalam mengangkat rumah. Bahkan biasanya ada anak kecil di atas rumah sebagai simbol bahwa rumah tersebut berisi orang alias bukan rumah kosong. Manfaat anak kecil tersebut juga untuk melihat seperti apa di dalam rumah saat proses pengangkatan.

Setelah rumah siap untuk diangkat maka dipanggilah puluhan hingga ratusan warga. Untuk melibatkan banyak orang, makanya biasa disesuaikan dengan jadwal keramaian di kampung tersebut bahkan seringkali dilakukan di hari Jumat agar jamaah Jumat bisa bergabung untuk membantu. Sebelum prosesi dimulai, doa juga diucapkan bersama agar berjalan lancar dan sesuai harapan. Prosesi ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Sementara kaum perempuan menyiapkan makanan, baik makanan berat maupun makanan ringan. Namun pada umumnya lebih umum makanan ringan yang disiapkan dibanding makanan berat sebab tentu memberatkan bagi yang punya hajatan untuk memberi makan kepada puluhan hingga ratusan orang.

Dalam proses tersebut beberapa rempah atau makanan yang wajib disiapkan selain makanan untuk dimakan setelah proses pengangkatan antara lain pisang kepo dan pisang batu yang digantung depan tiang tangga rumah. Demikian sepasang ayam kecil jantan dan betina juga disiapkan, makanan nangka baik dimasak sayur atau pun disiapkan dan makanan berat sedikit untuk pengisi perut pemilik rumah. Bahkan terkadang dalam proses pengangkatan rumah terkadang ditaburkan beras sedikit pula sebagai simbol kemakmuran.

Ada hal menarik dalam tradisi mappalette bola atau angkat rumah panggung di kalangan masyarakat Bugis yakni adanya makan bersama. Biasanya yang tak pernah terlewatkan adalah makanan cindolo yakni sejenis makanan es condol khas Bugis. Dalam tradisi makan tersebut tentu orang akan duduk sama rendah dan makan bersama tanpa ada kasta atau kelas sosial. Makanan es cendol terseut memang biasanya dibuat sebanyak mungkin, selain karena murah meriah apalagi dengan beras melimpah juga karena sebagai bentuk rasa syukur bagi yang punya hajatan. Makanan tersebut memiliki simbol kebaikan lantaran makanan manis dan malunra atau gurihh, sehingga terkadang menjadi simbol dan filosofi bagi kalangan Bugis yakni rampeka golla urampeki kaluku yang bermakna kenanglah aku dengan hal baik (golla atau gula yang manis) niscaya pula akan kukenang kebaikan (kaluku, kelapa yang gurih) tuan sekalian.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline