Lihat ke Halaman Asli

Amorsa

Kata-kata menjadi teman cerita

Sepucuk Surat Merah

Diperbarui: 3 Maret 2021   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di beranda rumah ini,
aku menatap langit yang sama.
Sembari membaca sepucuk surat merah darimu.
Semerbak harum, kayu cendana.

Diantara rerumputan,
sinar fajar jatuh mengenai keningku; meneduhkan.

Mulai kubaca kata demi kata,
kalimat demi kalimat.
Sungguh indah mempesona.

Surat pertama di hari selasa.
Menghidupkan suasana mesra,
menebar ke cakrawala.
Tak ada derita,
tetapi ada suka.

Nyiur daun, senandung merdu.
Berbaris rapi menutupi sembilu yang dulu.

Kudapati kalimat : Sudah lama tak bertemu, apakah kamu rindu?

Semburat fajar telah kembali tidur,
mempersiapkan tuk menjadi pelipur.
Hangat mentari, semakin menenangkan.
Hembusan nafas mengiringi semilir angin menyejukkan.

Kembali, kudapati kalimat : Aku kirimkan salam rindu padamu yang kutunggu.

Ah, semakin semringah wajahku.
Andaikan ia ada di depanku,
memerahlah pipi ini.

Inilah,
sepucuk surat merah
dari sosok manis berkumis tipis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline