Lihat ke Halaman Asli

Amel Widya

TERVERIFIKASI

PPNASN

Berani Jadi Petani Milenial?

Diperbarui: 22 Mei 2019   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani Milenial [Ilustrasi: EasternPeak]

Tidak mudah menjadi anak petani. Apalagi jadi petani. Pakaian berlumur tanah, kulit bermasker lumpur, rambut bau matahari, dan tubuh berpeluh. Itulah gambaran kasar sosok petani. Gambaran yang jauh dari benak anak-anak milenial.

Anak petani enggan menjadi petani, itu lumrah. Selumrah anak guru yang belum tentu menjadi guru. Yang luar biasa adalah tatkala mahasiswa jurusan pertanian malah kesasar menjadi teler bank, wartawan, atau profesi lain yang jauh dari disiplin ilmunya.

Bahkan sempat gencar beredar pelesetan IPB. Seharusnya Institut Pertanian Bogor menjadi Institut Perbankan Bogor. Sekilas lucu, padahal tragis. Tampak sekali bahwa citra petani, yang lusuh dan kotor, tidak memikat hati anak-anak muda.

Jika sudah begini, regenarasi petani bakal terhambat. Siapa yang bakal meneruskan kiprah Ahmad Mu'tamir, petani kentang nan sukses? Seperti dilansir MoneySmart, omzet Pak Ahmad rata-rata Rp120-170 juta per bulan.

Baiklah, kita ubah pertanyaan di atas yang sarat rasa prihatin. Benarkah citra petani masih lusuh dan kotor? Benarkah masa depan petani, termasuk pertanian, selalu kusam dan muram? Sebelum kedua pertanyaan itu bertemu jawab, ayo kita simak kisah petani milenial.

Taufik Hidayat namanya. Ayahnya kuli bangunan. Kadang ayahnya keluar kota atau pulau demi menafkahi keluarga. Taufik pun jadi matahari harapan. Setamat kuliah, ia merantau ke Jakarta untuk menyokong ekonomi keluarga. Namun, ia pulang kampung dan banting setir menjadi petani.

Di Pangalengan, ia terjun ke kebun. Jamur tiram jadi pilihannya. Ia kumpulkan modal awal dari teman-temannya. Ia pelajari seluk-beluk bertani jamur. Ia tekuri pola pasar dan pernak-perniknya.

Taufik Hidayat sang petani milenial [Foto: DetikFinance/Taufik Hidayat]

Meski telah bertani dengan telaten, ujian tiba. Panen gagal akibat kebun jamurnya dilanda banjir. 

Apakah ia patah arang? Tidak. Taufik tidak putus asa. Ia bangkit dan kembali bergiat. Kini ia memanen di "ladang gigihnya". Rata-rata per bulan ia meraup omzet Rp165 juta. Asetnya pun mencapai Rp600 juta.

Kisah Taufik bukanlah pepesan kosong. Setelah penat bekerja kantoran, ia pulang ke kampungnya untuk bertani. Kisah lengkapnya bisa kita baca di DetikFinance. Kini penghasilannya sudah jauh melebihi upahnya semasa menjadi karyawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline