Kuliah sering dianggap sebagai salah satu fase penting dalam kehidupan anak muda. Namun, di balik citra indah tentang "masa kuliah sebagai masa emas", kenyataannya tidak selalu mudah. Banyak mahasiswa merasa kelelahan akibat tumpukan tugas, jadwal kuliah yang padat, dan tekanan untuk meraih nilai tinggi. Rutinitas belajar yang monoton ditambah dengan deadline yang ketat sering membuat mahasiswa kehilangan semangat, kehabisan energi, bahkan mengalami stres yang berlarut-larut.
Kelelahan mahasiswa bukan hanya soal fisik. Kurang tidur karena begadang mengerjakan tugas, duduk berjam-jam di depan layar laptop, dan pikiran yang tak berhenti memikirkan ujian membuat kelelahan mental lebih berat. Beban akademik sering menimbulkan rasa cemas, khawatir tidak bisa memenuhi standar, hingga muncul perasaan gagal. Kondisi ini dalam psikologi dikenal sebagai academic burnout, yaitu kelelahan emosional akibat tuntutan belajar yang berkepanjangan.
Di sisi lain, ada perjuangan orang tua yang sering tidak terlihat. Saat mahasiswa merasa capek dengan kuliah, orang tua justru bekerja lebih keras untuk memastikan anaknya tetap bisa bersekolah. Mereka harus mencari nafkah, mengatur keuangan, memikirkan biaya kuliah, kebutuhan sehari-hari, serta masa depan anak. Tidak jarang, orang tua menahan lelah, mengorbankan waktu istirahat, bahkan mengabaikan kesehatan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Kelelahan orang tua bukan hanya fisik, tetapi juga emosional, karena rasa tanggung jawab yang besar terhadap keberhasilan pendidikan anak.
Kedua sisi kelelahan ini sering saling memengaruhi. Mahasiswa kadang merasa bersalah ketika mengeluh, karena tahu orang tuanya jauh lebih capek. Perasaan ini justru menambah tekanan batin, seakan-akan tidak boleh lelah karena orang tua menanggung beban yang lebih berat. Sebaliknya, orang tua yang tidak memahami kondisi anak bisa saja beranggapan bahwa kuliah tidak seberapa dibandingkan kerja keras mencari uang. Perbedaan sudut pandang inilah yang sering menimbulkan kesalahpahaman antara anak dan orang tua.
Dalam psikologi keluarga, hal ini bisa memicu konflik internal dan menurunkan kesehatan mental kedua belah pihak. Mahasiswa merasa tidak dipahami, sementara orang tua merasa anaknya kurang bersyukur. Jika kondisi ini berlangsung lama, akibatnya bukan hanya stres, tetapi juga muncul jarak emosional dalam hubungan keluarga. Padahal, di saat-saat penuh tekanan, mahasiswa justru sangat membutuhkan dukungan dari orang tua sebagai support system utama.
Solusi dari masalah ini adalah komunikasi yang terbuka dan penuh empati. Mahasiswa perlu berani menceritakan apa yang dirasakan, termasuk rasa lelah dan stres akibat perkuliahan. Orang tua juga perlu memberi ruang untuk mendengar, bukan sekadar menuntut hasil. Dengan begitu, keduanya bisa saling memahami beban masing-masing dan menemukan cara untuk saling mendukung. Ekspektasi yang realistis juga penting: orang tua tidak menuntut kesempurnaan, dan mahasiswa belajar menghargai pengorbanan orang tua tanpa harus menekan diri secara berlebihan.
Selain itu, manajemen waktu yang baik juga bisa membantu mengurangi kelelahan. Mahasiswa perlu menjaga keseimbangan antara belajar dan istirahat, karena tubuh dan pikiran yang sehat akan membuat proses kuliah lebih efektif. Begitu pula orang tua, mereka juga perlu menyadari pentingnya menjaga kesehatan diri sendiri agar tetap kuat mendampingi anak. Penghargaan sederhana, seperti ucapan terima kasih dari anak atau apresiasi orang tua terhadap usaha anak, juga bisa memperkuat ikatan emosional di tengah kelelahan bersama.
Penutup
Pada akhirnya, kuliah memang capek, dan orang tua pun capek. Tetapi, keduanya bukan untuk dibandingkan. Kelelahan itu adalah bagian dari perjuangan bersama menuju masa depan yang lebih baik. Jika mahasiswa dan orang tua bisa saling memahami, menghargai, dan mendukung, maka rasa lelah itu akan berubah menjadi kekuatan. Sebab, keluarga yang solid adalah sumber energi terbesar untuk menghadapi setiap tantangan hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI