Lihat ke Halaman Asli

Tifanaas

Mahasiswa Sains Data Universitas Negeri Surabaya

Kolak Rasa Rumah

Diperbarui: 28 Maret 2025   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ibu dan anak : dibuat dengan AI 

Abi, seorang karyawan di kantor perpajakan, menjalani Ramadhan pertamanya jauh dari keluarga. Selama 24 tahun hidupnya, ia belum pernah merantau, namun setelah lulus kuliah tahun lalu dengan predikat cumlaude, ia memutuskan mencari tantangan baru di kota lain. Tantangan itu benar-benar terasa saat Ramadhan tiba---bulan yang biasanya ia jalani dengan kehangatan keluarga, kini harus ia lalui seorang diri.

Hari pertama puasa, Abi berdiri di depan deretan penjual takjil, matanya menyapu meja-meja penuh dengan aneka makanan. Es campur, gorengan, bubur sumsum---semuanya ada. Tapi yang ia cari tak terlihat.

Hanya ada satu yang ada di pikirannya, kolak pisang dan ubi.

Takjil yang selalu menjadi kewajiban di rumahnya setiap Ramadhan. Takjil yang dibuat dengan kasih sayang ibu. Dengan santan kental yang segar, manis gula aren asli, dan aroma daun pandan yang menggoda, mengundang seluruh keluarga berkumpul sebelum waktu Magrib tiba. Rasanya manis, lembut, dan hangat---seperti rumah itu sendiri.

Namun, kolak yang ia cari belum juga berjodoh dengannya.

Sore itu, Abi akhirnya menelepon ibunya. "Bu, Abi kangen kolak ibu."

Ibunya terkekeh di seberang. "Di sana banyak yang jual takjil, kan? Tinggal beli aja, Nak."

Abi menghela napas. "Iya sih, Bu... Tapi tiap kali nyari, selalu kehabisan. Entah kenapa orang-orang kayak suka borong kolak. Abi juga pulangnya kesorean terus."

Hari-hari berikutnya, ia tetap mencoba peruntungannya. Hingga di hari kelima, akhirnya ia berhasil mendapatkan semangkuk kolak. Tapi saat melihat isinya, ada sesuatu yang terasa asing. Terdapat beberapa bulatan kecil dari tepung yang tak ia kenali. Tanpa ubi, tidak ada kelembutan khas yang ia rindukan.

Meski sedikit ragu, ia tetap membelinya. Setidaknya, ia sudah mendapatkan kolak. Mungkin rasanya akan mengejutkannya. Atau setidaknya, bisa mengurangi obsesinya setelah empat hari berturut-turut gagal menemukannya.

Namun, begitu suapan pertama menyentuh lidahnya, matanya refleks terbuka lebar. Rasanya jauh dari yang ia harapkan. Hanya manis saja, tanpa santan yang kental, tanpa rasa yang menghangatkannya seperti buatan ibu. Apalagi dengan isian tepung bulat yang semakin mempertegas bahwa ini bukan kolak yang ia cari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline