Lihat ke Halaman Asli

ali achmadi

praktisi pendidikan, humas yayasan Ar Raudlaoh Pakis - Pati

Ketika Semua Dipaksa Memanjat Pohon : Ironi Pendidikan yang Menyeragamkan

Diperbarui: 10 April 2025   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Ilustrasi (Sumber freepik)

Dunia pendidikan idealnya menjadi ruang yang memberi tempat bagi setiap individu untuk tumbuh sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya. Sistem pendidikan kita kerap memperlakukan semua siswa dengan cara yang seragam, menuntut mereka untuk mencapai standar yang sama, dengan metode yang sama, dan dalam waktu yang sama pula. Ini seperti meminta gajah, singa, katak, buaya, ular, monyet, dan ikan untuk bersaing dalam lomba memanjat pohon---sebuah perlombaan yang hanya menguntungkan mereka yang memang terlahir untuk itu, sementara yang lain dianggap gagal, malas, atau bodoh.

Ironi ini mencerminkan betapa sistem pendidikan kita masih belum sepenuhnya mengakui keunikan potensi setiap anak. Padahal, setiap siswa datang dengan kekuatan yang berbeda: ada yang hebat dalam logika, ada yang peka terhadap seni, ada yang terampil dalam olahraga, ada pula yang punya jiwa kepemimpinan alami. Namun kenyataannya, yang dihargai lebih banyak adalah nilai matematika dan bahasa---sementara yang lain dianggap kurang penting. Akibatnya, siswa yang tidak unggul di bidang tertentu mulai meragukan diri sendiri, merasa tidak cukup pintar, padahal mereka hanya belum mendapat ruang yang sesuai untuk berkembang.

Dalam sistem yang menyeragamkan ini, banyak potensi yang akhirnya mati sebelum sempat tumbuh. Anak-anak yang seharusnya bisa menjadi penemu, seniman, atlet, teknisi, atau pemimpin masa depan, kehilangan arah karena terus dipaksa menyesuaikan diri dengan standar yang tidak mewakili kekuatan mereka. Mereka belajar bukan untuk memahami, melainkan untuk menghafal. Mereka sekolah bukan untuk berkembang, tapi untuk bertahan.

Guru pun sering kali terjebak dalam sistem ini. Alih-alih menjadi pendamping yang membimbing sesuai karakter masing-masing siswa, guru dituntut untuk menyelesaikan target kurikulum dan mengejar angka di atas kertas. Padahal pendidikan sejati bukan hanya tentang nilai, tapi tentang membentuk manusia yang utuh---yang tahu siapa dirinya, apa potensinya, dan bagaimana berkontribusi dalam kehidupan.

Ketika pendidikan hanya berfokus pada keseragaman, maka yang tercipta bukanlah generasi yang cerdas dan siap menghadapi dunia nyata, tetapi generasi yang terlatih untuk mengikuti aturan tanpa memahami maknanya. Kreativitas tertekan, rasa ingin tahu dibungkam, dan kepercayaan diri siswa perlahan-lahan terkikis. Mereka dipaksa untuk menjadi sesuatu yang bukan diri mereka, demi memenuhi ekspektasi sistem.

Sudah saatnya sistem pendidikan kita berhenti menilai semua anak dari pohon yang sama. Karena ikan tidak perlu memanjat pohon untuk membuktikan bahwa ia luar biasa. Dan gajah pun tidak perlu direndahkan karena tubuhnya terlalu besar untuk memanjat. Setiap anak istimewa, hanya saja belum tentu dengan cara yang sama. Pendidikan yang adil bukan berarti semua diberi hal yang sama, tetapi semua diberi kesempatan yang sesuai dengan potensi dirinya.

ALI ACHMADI, Kabid Humas dan Usaha Yayasan Ar Raudloh, Pendidikan Islam Raudlatut Tholibin Pakis-Pati

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline