Kau yang Datang di Musim Kemarau, Kini Pergi di Musim Hujan yang Tak Kunjung Reda
Kepergianmu bukan sekadar kehilangan, ia seperti gempa sunyi yang menggoyahkan fondasi kenangan. Tiga minggu kau tiada, tapi rasa kosong tanpamu terasa seperti abadi. Karena kau, Matius, bukan hanya sahabat, kau adalah saudara jiwa yang pernah berjalan denganku di jalan-jalan berdebu Madagaskar, di antara ketakutan, tawa, dan iman yang tak pernah goyah.
Fren... kepergian untuk selamanya selalu datang seperti petir di siang bolong: mengagetkan, menghancurkan, dan meninggalkan luka yang butuh waktu bertahun untuk sembuh. Tentu, yang paling kehilangan adalah istrimu, putrimu, dan seluruh keluarga besarmu. Tapi bagiku, kau juga bagian dari jiwaku. Karena kita (kau dan aku) telah melewati pahit-manis kehidupan tidak hanya di tanah air, tapi di negeri asing yang kadang tak ramah, kadang terlalu sunyi, namun selalu penuh rahmat.
Ingatkah kau, Matius, saat kau tiba-tiba muncul di Manja, pedalaman Madagaskar yang bahkan di musim hujan hanya bisa dijangkau jika pilot berani menantang awan? Saat itu musim kemarau. Romo Alois (Fut King) baru saja meninggalkan Manja untuk pulang ke Indonesia. Dan aku baru saja kehilangan uang pastoran hampir 15 juta rupiah yang dititipkan oleh Romo Fut untuk kami bertiga di pastoran dan gaji koster. Tentu, bagiku yang masih muda dan belum terbiasa dengan kerasnya dunia misi, itu bukan sekadar kerugian finansial, itu adalah badai rasa bersalah karena tidak bisa menjaga amanat Romo Alois sampai pastor paroki yang baru datang, ada rasa takut, dan stres yang membuatku jatuh sakit.
Tapi kau datang.
Kau datang bersama Romo Fut dan Romo Yan, imam Polandia yang nampak selalu tersenyum ceria, yang berani membawa mobilnya berenang di rawa demi sampai ke Manja. Romo Alois menunda kepulangannya. Dan kau? Kau datang sebagai sahabat. Bukan sebagai frater, bukan sebagai utusan provinsial, tapi sebagai teman yang tahu kapan aku butuh pelukan diam, bukan nasihat panjang.
Aku masih ingat kata-katamu dan Romo Fut:
"Uang masih bisa dicari. Yang penting, kamu tidak dirampok, tidak dilukai, apalagi dibunuh di sini."
Di pastoran yang tertutup rapat (tempat yang seharusnya aman) ternyata bisa terjadi pencurian. Dan ironisnya, sampai dengan kepindahan saya dari Manja ke Ambalavao, saya bersama dua frater dari Keuskupan Morombe tidak tahu siapa yang mencuri uang itu. Oh ya Amede dan Zafioly malah sudah menunggumu duluan di surga sana. Romo Zafioly, yang hampir tiga tahun lalu pergi menyusul Amade yang keluar setelah TOP seperti kita, dia sahabat kita yang selalu menyanyi sambil menggiring bola di halaman pastoran.
Selama seminggu, kau menemaniku. Menemani hingga demamku reda, hingga ketakutanku mulai mencair. Dan saat kau kembali ke Provinsialat, aku merasa seperti ditinggal oleh utusan provinsial sendiri (mungkin kalau kita tidak keluar engkau sudah provinsial, karena hidupmu di Madagascar lebih lama bersama provinsial), bapakmu yang suka anggur dan selalu membawa rombongan keponakan ke meja makan hanya karena katanya masakanmu enak. Kau pernah bercerita, "Kalau sedang memasak, provinsialat sepi, cuma aku dan Romo Provinsial. Tapi pas makan, tiba-tiba meja penuh, dan kadang aku sendiri nggak kebagian lauk." Dan setelah makan mereka menghilang, meninggalkan engkau yang akan membereskan peralatan makan.
Itu kenangan yang indah. Tapi kini, jika kuingat, hatiku perih. Karena kau tak lagi di sini untuk memasak, untuk tertawa, untuk mengeluh pelan tentang lauk yang habis sebelum sempat kau ambil.
Lalu ingat pula, saat kita sudah pindah ke Ambalavao. Romo Jenderal Wim van der Weiden, MSF, dan asistennya, Romo Albert Tan Tian Sing, MSF, datang mengunjungi kita (sebenarnya bukan khusus mengunjungi loh, mereka melakukan kunjungan kanonik yang kebetulan kita sedang di sana). Kita naik pick-up beratap, menuju parokinya Romo Pierson, imam asal Belgia, si "Tangan Madu" yang memelihara lebah di setiap sudut pastoran dan hanya minum bir atau anggur. Romo Sing duduk di depan, sementara kita berdua (seperti kernet) bergelantungan di belakang menemani Romo Wim dan dua Romo lainnya, rambut kita penuh debu hingga mirip bule.