Maaf dari Istana, Muntahan di Kelas: Saat Janji Gizi Jadi Beban yang Terus Dibiarkan
Di sebuah kelas kecil di Kecamatan Kadungora, Garut, papan tulisnya masih penuh dengan huruf-huruf yang belum selesai dilatih. Tapi lantainya? Penuh dengan noda, bukan kapur, tapi sisa muntahan anak-anak yang pagi tadi begitu bersemangat menyambut "makan siang gratis dari negara".
Seratus sembilan puluh empat siswa. Satu program. Dan satu malapetaka.
Mereka bukan anak-anak dari keluarga tak mampu yang tidak pernah merasakan makanan layak. Banyak dari mereka biasa membawa bekal hangat dari rumah: nasi dengan ikan asin, sayur labu, atau telur rebus. Sederhana, tapi dimasak oleh tangan ibu yang tahu mana yang segar, mana yang aman, yang dimasak dengan penuh cinta sebagai vitamin jiwa agar anaknya sehat sepanjang hari saat menerima ilmu di sekolah.
Tapi hari itu, mereka makan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang bisa diplesetkan menjadi Makan Beracun Giliran (pindah-pindah tempat). Dan sore harinya, bukan energi yang mereka dapat. Melainkan perut yang melilit, kepala yang pening, dan rasa takut yang menggema: "Jangan kasih aku makanan dari sekolah lagi."
Ini bukan insiden. Ini bukan kecelakaan tunggal. Ini adalah pola yang terus berulang, seperti siklus kutukan yang tak pernah dihentikan. Lalu mengapa negara terus ngotot melakukan program caritatis semacam ini?
Ratusan Anak, Satu Cerita: Mereka Keracunan karena Makanan dari Negara
Dalam hitungan minggu, gelombang keracunan massal akibat MBG merebak di seluruh penjuru negeri:
Di Baubau, Sulawesi Tenggara, 37 siswa SMA Negeri 7 dan SD Hidayatullah dilarikan ke puskesmas usai menyantap menu MBG. Di Lamongan, Jawa Timur, belasan pelajar SMAN 2 harus dirawat karena mual dan pusing setelah makan siang "bergizi" pada 17 September 2025. Di Sumbawa, NTB, ratusan siswa dari Empang diduga keracunan. Orang tua murid menemukan lauk yang bau busuk dan teksturnya aneh. Di Gunungkidul, DIY, 19 siswa dari tiga sekolah jatuh sakit usai makan menu MBG pada 15 September.
Semua makanan datang dari program yang sama. Semua korban adalah anak-anak yang percaya bahwa negara sedang melindungi mereka. Dan semua hasilnya? Rumah sakit yang kewalahan, orang tua yang menangis, dan rasa kecewa yang dalam: "Kenapa janji gizi malah jadi racun?" Lalu masalahnya akan selesai selepas maaf terujar dari dinding istana?
(sumber: kontannasional)