Pegadaian di Tengah Hujan Uang 200 Triliun: Ketika Rakyat Kecil Tetap Mengetuk Pintunya
Langit Jakarta mendung. Di ruang rapat lantai atas gedung Kementerian Keuangan, keputusan besar baru saja diambil: suntikan Rp200 triliun mengalir ke bank-bank BUMN. Tujuannya mulia, membangkitkan ekonomi, membantu UMKM, menyelamatkan pekerja yang terkena PHK, dan mendorong pertumbuhan dari bawah. Berita ini langsung menyebar seperti api di musim kemarau. Media memberitakan dengan semangat: "Pinjaman Murah untuk Rakyat!" "Bank Siap Bantu Pelaku Usaha!"
Tapi di warung kopi pinggir pasar di Yogyakarta, seorang pedagang sayur bernama Bu Sari hanya menghela napas saat mendengar kabar itu.
"Murah katanya? Tapi saya aja nggak bisa daftar. Mereka minta slip gaji, rekening, NPWP... saya jualan di emperan, bayarnya pakai cash, mana ada slip gaji?" katanya sambil mengaduk kopi pahitnya.
Esok harinya, ia masuk ke kantor Pegadaian Kotabaru. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan kalung emas tua (warisan ibunya) untuk digadaikan. Cukup untuk beli stok sayuran selama dua minggu, biar dagangannya tidak mati. Ia tahu, bunga di Pegadaian tidak serendah yang ditawarkan bank. Tapi yang penting, uangnya cair hari itu juga. Dan itu artinya, besok ia masih bisa berjualan.
Di banyak tempat seperti warung Bu Sari, cerita ini berulang. Meski pemerintah menggelontorkan ratusan triliun ke bank, arus manusia ke Pegadaian tetap deras. Bahkan transaksi gadai naik 18 persen dibanding bulan sebelumnya. Bukan karena mereka tidak tahu soal pinjaman murah, tapi karena dunia perbankan masih terasa jauh, asing, dan menakutkan bagi mereka yang hidup dari hari ke hari.
Bank memang butuh data, dokumen, dan jaminan formal. Tapi nasib rakyat kecil tidak selalu tertulis dalam kertas. Mereka punya usaha, punya tekad, punya tanggungan keluarga tapi tidak selalu punya NPWP atau rekening aktif. Maka ketika sistem formal menutup pintu, Pegadaian tetap membuka jendela.
Dan bukan cuma Bu Sari. Di Medan, seorang mantan karyawan startup yang kena PHK datang dengan laptop kesayangannya. Ia butuh modal buat bikin konten edukasi keuangan. Bank menolak karena statusnya sudah tidak bekerja. Tapi di Pegadaian, laptop itu dinilai, dan dalam satu jam, ia pegang uang untuk beli mikrofon dan lighting. "Ini bukan akhir," katanya pelan. "Ini awal dari usaha baru."
Yang menarik, kebijakan 200 triliun ini justru tanpa disengaja memperkuat peran Pegadaian sebagai batu loncatan, bukan pesaing bank. Karena di tengah gelombang pinjaman murah, Pegadaian menjadi tempat di mana rakyat kecil belajar mengelola uang, membayar tepat waktu, dan membangun jejak keuangan.
Ada yang mulai dari tabungan emas Rp5.000 sehari. Ada yang rajin menebus gadai meski untung tipis. Lama-lama, mereka punya rekam jejak. Dan di sinilah sinergi terjadi: bank yang butuh debitur potensial mulai melirik data nasabah aktif dari Pegadaian. Beberapa cabang bahkan sudah bekerja sama dengan BRI, agar nasabah yang disiplin bisa langsung diajukan ke program KUR, kredit usaha rakyat bersubsidi bunga rendah.