Perpustakaan Gereja: Tempat Anak-Anak Belajar Mencintai Firman dan Jatuh Cinta pada Buku
Ada sesuatu yang magis terjadi di sudut kecil gereja, tempat yang sering dilupakan, kadang sepi, tapi selalu hangat. Di sana, di antara rak-rak kayu yang sederhana, berjejer buku-buku yang tak sekadar berisi huruf, tapi juga doa, cerita, air mata, tawa, dan panggilan Tuhan yang lembut. Ini bukan ruang baca biasa. Ini perpustakaan gereja. Dan bagi anak-anak sekolah minggu, ini bisa jadi tempat pertama di mana mereka merasa: "Aku boleh diam. Aku boleh tenang. Aku boleh membaca tanpa takut salah."
Elia begitu namanya, bocah delapan tahun dengan rambut acak-acakan dan senyum yang selalu datang terlambat. Ia masuk ke perpustakaan itu bukan karena disuruh. Bukan karena ada tugas hafalan. Tapi karena minggu lalu, di halaman 47 Alkitab bergambarnya, ada Daud kecil yang berdiri gagah melawan Goliat, dan Elia ingin lihat lagi wajahnya. Ia duduk di karpet biru, menyandarkan punggung ke bantal berbentuk awan, lalu membuka buku itu perlahan, seperti membuka pintu rahasia. Di sebelahnya, Rachel sedang membaca renungan pendek dengan jari telunjuknya, menelusuri setiap kata seolah ia sedang berjalan di atas awan bersama malaikat. Tidak ada suara. Hanya desau halaman yang dibalik, dan detak jantung kecil yang mulai belajar: membaca itu indah.
Putra kedua saya yang saat ini kelas VI SD, bila ada kegiatan di gereja, tempat yang dikunjungi (sambil menunggu berjalannya acara) adalah perpustakaan. Dia meniru apa yang sering dilakukan kakaknya (sekarang kelas 12 SMK) dulu ketika istirahat sekolah, maka carilah dia di perpustakaan. Saat pulang ke rumah ada 2-3 buku yang dipinjamnya. Padahal di rumah, di rak-rak buku banyak buku bacaan anak baik yang rohani maupun yang umum.
Alkitab Pertama: Cinta yang Tak Terlupakan
Bagi banyak anak, Alkitab adalah buku pertama yang mereka cintai, bukan karena kewajiban, tapi karena di dalamnya, mereka menemukan petualangan, keajaiban, dan yang paling penting, Tuhan yang bicara langsung kepada mereka. Ada kisah nabi yang terbang dengan kereta berapi. Ada gadis kecil yang disembuhkan hanya dengan sentuhan jubah. Ada badai yang reda hanya karena satu kalimat: "Diam! Tenanglah!"
Secara psikologis, ini bukan sekadar membaca. Ini adalah pengalaman emosional yang membekas. Ketika seorang anak membuka Alkitab dan merasa damai, otaknya merekam: "Ini tempat aman. Ini kegiatan yang membuatku nyaman. Ini hubungan antara aku, buku, dan Tuhan." Dan perpustakaan gereja, jika dirawat dengan hati, bisa jadi tempat di mana rekaman itu diperkuat, diulang, dan akhirnya menjadi kebiasaan yang tak tergantikan.
"Di rumah aku sering dimarahin kalau salah baca. Tapi di sini, nggak. Di sini aku boleh baca pelan-pelan, lihat gambarnya lama-lama, bahkan ketawa sendiri kalau lucu."
Itu kata Elia. Dan di dalam kalimat sederhana itu, tersembunyi keajaiban pendidikan: rasa aman adalah pintu gerbang belajar.
Bukan Gudang Buku, Tapi Rumah Jiwa
Perpustakaan gereja bukan tempat untuk menyimpan koleksi tua yang berdebu. Ia bukan ruang steril yang penuh aturan "dilarang ini, dilarang itu". Ia harus jadi ruang hidup, tempat di mana anak-anak merasa: "Ini milikku. Aku boleh memilih. Aku boleh duduk di mana saja. Aku boleh membaca apa yang kusuka."
Dan ketika kebebasan itu diberikan (tanpa paksaan, tanpa target, tanpa ujian) sesuatu yang ajaib terjadi: anak-anak mulai datang dengan sukarela. Mereka datang lebih awal. Mereka bawa teman. Mereka mulai bertanya: "Ada nggak buku tentang malaikat?" "Aku mau baca kisah Musa waktu bayi!" "Boleh aku bawa pulang buku ini?"
Mereka tidak lagi datang karena disuruh, tapi karena rindu.
(olahan GemAIBot, dokpri)