Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Toa Lako: Perang Manusia dan Nitu, Pendidikan Jiwa Pria Muda Nagekeo (1)

Diperbarui: 14 Mei 2025   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi berburu babi hutan, olahan qwen 2.1 max, dokpri)

Toa Lako: Perang Manusia dan Nitu, Pendidikan Jiwa Pria Muda Nagekeo (1)

Di bawah langit Flores yang luas, di tanah Nagekeo yang dipeluk bukit dan sabana di bawah kaki Gunung berapi Ebulobo yang setia mengeluarkan asap untuk menyapa semesta, tradisi Toa Lako bangkit setiap tahun sebagai ritus suci yang mengguncang jiwa.

Bagi masyarakat adat Boawae (adat Nage) dan sekitarnya, Toa Lako bukan sekadar berburu babi hutan atau rusa; ia adalah perang melawan Nitu-roh bumi yang menguasai hutan, hewan liar, dan keseimbangan alam. Tradisi ini, yang mengakar dalam kalender adat buku nete, adalah sekolah alam yang membentuk pria muda menjadi pemberani, solid, dan rendah hati di hadapan leluhur dan alam.

Dengan wawasan dari Pascalis Sopi, yang melalui unggahan Facebook pada 24 Agustus 2024 merinci makna mendalam Toa Lako, dalam esai ini saya berusaha menggambarkan tradisi ini sebagai cermin jiwa Nagekeo yang tangguh dan spiritual.

Ritual Suci: Menghormati Nitu Sebelum Memasuki Hutan

Toa Lako dimulai dengan ritus yang khidmat, sebuah dialog dengan roh leluhur dan Nitu. Para tetua adat memimpin doa, menyembelih ayam jantan atau mempersembahkan sirih pinang, memohon restu agar hutan membuka jalannya. Pascalis Sopi menulis, "Toa Lako adalah ritus yang masuk dalam kalender adat tahunan buku nete, dilakukan setelah Etu (tinju adat) sebagai syukuran pasca-panen" (Sopi, 2024).

Ritual ini bukan sekadar formalitas; ia adalah pengakuan bahwa manusia hanyalah tamu di alam yang dikuasai Nitu. Larangan ketat berlaku: keluarga pemburu harus berpuasa, menyalakan api diatur, dan orang luar dilarang masuk kampung selama perburuan. Pelanggaran bisa berujung pada denda, bahkan kegagalan buruan dianggap akibat gangguan tamu yang melanggar aturan. Dengan jenaka bisa saya ibaratkan, "Di Flores, kita tidak melangkah tanpa izin angin, tidak mengambil tanpa restu batu."

Perang Manusia vs Nitu: Kisah Dendam dan Keseimbangan

Makna Toa Lako berakar pada kisah tragis sebagaimaba yang diceritakan Pascalis. Di Rowa, Boawae, seorang gadis cantik, putri tunggal, tewas diserang kawanan babi hutan dan rusa yang menghancurkan ladangnya. Orang tuanya, yang hanya menemukan helai rambut dan gelang gioknya di pohon kapas, bersumpah membalas dendam.

Bersama suku-suku tetangga, mereka menyerang hewan-hewan liar hingga seekor babi jantan berubah menjadi kakek tua - jelmaan Nitu. Ia berkata, "Cukuplah sudah! Jika ingin menyerang, tanyalah bintang dan bulan, asah tombakmu saat waktunya tiba" (Sopi, 2024).

Ini adalah tua jaji, perjanjian gencatan senjata antara manusia dan Nitu. Toa Lako lahir dari kisah ini, bukan hanya sebagai perburuan, tetapi sebagai ritual untuk mengendalikan populasi hewan liar yang mengancam ladang petani. Sopi menegaskan, "Alasan rasionalnya adalah mengontrol binatang hutan agar tidak menghancurkan tanaman petani tegalan" (Sopi, 2024).

Sekolah Hutan: Membentuk Keberanian dan Solidaritas

Di sabana utara Boawae, pria muda -kecuali yang tua atau lemah- berkumpul dalam kelompok, menuju hutan selama dua hari. Mereka membentuk loka, titik kumpul untuk menyimpan hasil buruan, dengan dua atau tiga orang sebagai penjaga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline