Pertengahan Mei 2025 kita dikejutkan lagi dengan vitalnya suatu grup komunitas tertutup yang menyimpang di media sosial. Publik dikejutkan oleh terbongkarnya sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, sebuah komunitas daring dengan lebih dari 41.000 anggota yang secara terbuka mendiskusikan dan membagikan konten bertema inses, termasuk yang mengarah pada fantasi seksual terhadap anggota keluarga mereka sendiri dan anak di bawah umur. Grup ini, yang aktif setidaknya sejak pertengahan Mei 2025, menyajikan konten postingan anggotanya yang vulgar dan mencerminkan penyimpangan seksual ekstrem yang selama ini dianggap tabu dan ilegal dalam norma hukum maupun moral masyarakat. Keberadaan grup ini bukan hanya sekadar bukti kegagalan moderasi platform digital, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perilaku menyimpang tidak lagi sekadar terpinggirkan, melainkan dapat mencari ruang, berorganisasi, bahkan membentuk komunitas alternatif di ruang daring.
Bagi yang memperdalami kajaian sosiologi, hal ini menegaskan bahwa penyimpangan bukan hanya masalah personal, melainkan fenomena sosial yang kompleks, terstruktur, dan penuh dinamika kekuasaan. Satu konsep yang tepat untuk menganalisis fenomena ini adalah sosiologi perilaku menyimpang, teori dan konsep sosiologi yang telah lama mempelajari bagaimana perilaku-perilaku yang bertentangan dengan norma sosial muncul, dipertahankan, dan dikonstruksi. Teori-teori klasik seperti Durkheim memandang penyimpangan sebagai bagian fungsional dari masyarakat, sementara Howard Becker melalui labeling theory menekankan bagaimana individu menjadi “penyimpang” setelah diberi label oleh masyarakat. Lebih jauh, teori subkultur menunjukkan bahwa kelompok-kelompok penyimpang seringkali membentuk sistem nilai tersendiri yang bertentangan dengan norma dominan. Saya menulis artikel ini untuk mencoba membedah grup Fantasi Sedarah menggunakan teori sosiologi perilaku menyimpang. Jika ada teman-teman yang ingin ambil skripsi dengan kerangka teoritis dengan tema studi kasus ini, tulisan ini akan membantu untuk menjawab pertanyaan penting bagaimana mungkin penyimpangan ekstrem seperti ini bukan hanya muncul, tetapi juga mendapat dukungan kolektif. Mengapa ruang digital justru memfasilitasi tumbuhnya komunitas yang menantang moral publik secara terang-terangan. Dan apa yang sebenarnya dikatakan fenomena ini tentang kondisi sosial kita hari ini. Saya akan mencoba memaparkan teori-teori sosiologi perilaku menyimpang yang bisa menganalisis fenomena ini.
Potensi Media Sosial dalam Membentuk Penyimpanan Kolektif
Semua media sosial baik Facebook, TikTok, Instagram, X, hingga Telegram membuka peluang terbentuknya komunitas-komunitas tertutup yang menyimpang dari nilai arus utama. Grup Facebook Fantasi Sedarah ini menjadi contoh nyata bagaimana media sosial berperan sebagai ekosistem bagi penyimpangan yang bersifat kolektif. Meskipun bersifat tertutup dan tidak bisa diakses sembarang orang, eksistensi grup ini justru menunjukkan bahwa penyimpangan kini bukan lagi individual dan tersembunyi, melainkan berjejaring dan membentuk subkultur tersendiri. Keberadaan grup ini menunjukkan bahwa para pelaku penyimpangan tidak selalu merasa terisolasi. Sebaliknya, mereka menemukan komunitas yang menyambut, memvalidasi, bahkan merayakan penyimpangan tersebut.
Meskipun begitu, sifat tertutup grup ini tidak menjadikannya aman dari sorotan publik. Justru karena sifat eksklusifnya, grup ini menciptakan semacam “ruang aman” bagi penyimpang untuk berbicara lebih eksplisit tanpa takut dikoreksi oleh norma umum. Namun, kerahasiaan digital tidaklah mutlak. Penyebaran konten dari dalam grup ke ranah publik menandakan adanya anggota internal yang membocorkan informasi. Ini membuka wacana penting tentang bagaimana penyimpangan yang semula tersembunyi bisa menjadi viral. Dalam banyak kasus, kebocoran tersebut muncul bukan karena penyesalan, tetapi sebagai bentuk “balas dendam moral”, sensasi, atau pencarian eksistensi oleh anggota itu sendiri.
Fenomena “Fantasi Sedarah” memperlihatkan wajah baru dari penyimpangan kolektif, tidak lagi hanya terjadi di gang-gang sempit atau ruang privat, tetapi justru bermigrasi ke ruang digital yang luas, cair, dan paradoksal. Di satu sisi ruang ini bersifat inklusif dan bebas, namun di sisi lain juga penuh pengawasan dan rawan bocor. Dengan demikian, media sosial menjadi medan kontestasi antara kebebasan berekspresi dan batas moral masyarakat, antara komunitas penyimpang yang mencari ruang, dan masyarakat umum yang mempertahankan norma.
Disfungsi dan Kegagalan Sosialiasi yang Diterima para Anggota Grup Fantasi Sedarah
Dalam memahami penyimpangan sosial, teori fungsionalisme Émile Durkheim, menganggapnya sebagai elemen normal yang memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat, karena dianggap memperkuat norma sosial melalui reaksi terhadap pelanggaran. Penyimpangan berfungsi sebagai sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam struktur sosial yang harus diperbaiki. Kasus grup Facebook Fantasi Sedarah dapat dipahami sebagai refleksi dari ketidakseimbangan atau disfungsi norma sosial yang berlaku di masyarakat luas. Ketika norma-norma yang ada gagal mengakomodasi kebutuhan dan ekspresi tertentu misalnya, kebutuhan untuk menyalurkan fantasi atau identitas alternatif individu atau kelompok akan mencari ruang lain untuk mewujudkan diri mereka, meski ruang tersebut dianggap menyimpang oleh mayoritas. Disfungsi ini bisa muncul akibat lemahnya kontrol sosial formal dan informal, di mana institusi sosial seperti keluarga, pendidikan, dan agama tidak lagi efektif dalam menanamkan nilai-nilai atau norma yang diharapkan. Dalam kasus Fantasi Sedarah, keberadaan kelompok tertutup ini menunjukkan bahwa norma-norma sosial utama mungkin tidak mampu mengakomodasi identitas atau fantasi yang lebih ekstrem dan berbeda dari standar umum masyarakat. Kondisi ini membuat individu merasa alienasi dan akhirnya beralih ke kelompok yang menyediakan tempat bagi mereka untuk merasa diterima, sekaligus menguatkan perilaku atau ide yang dianggap menyimpang.
Bagi Durkheim, penyimpangan juga bisa memiliki fungsi positif, yakni sebagai pendorong perubahan sosial. Dalam konteks Fantasi Sedarah, keberadaan kelompok ini meski kontroversial dan problematik, menandakan bahwa ada kebutuhan sosial yang tidak terjawab dan menuntut perhatian dari masyarakat dan pembuat kebijakan. Dengan kata lain, fenomena ini bukan hanya masalah moral atau kriminal, tetapi juga cermin dari dinamika sosial yang kompleks, di mana norma dan nilai perlu dikaji ulang agar lebih inklusif dan relevan dengan kondisi masyarakat yang terus berubah. Dalam kerangka Durkheim, kita tahu bahwa norma sosial berfungsi menjaga kohesi dan stabilitas masyarakat. Ketika norma-norma tersebut melemah atau mengalami kerusakan, terjadi apa yang disebutnya sebagai anomie, kondisi dimana aturan sosial menjadi kabur atau tidak efektif sehingga individu kehilangan pegangan moral. Munculnya grup Fantasi Sedarah bisa dilihat sebagai ruang di mana norma sosial utama yang melarang incestus dan tabu seksual lainnya menjadi terdegradasi, sehingga para anggota kelompok ini merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri mereka. Anomie ini mendorong anggota untuk mencari makna dan identitas baru di dalam komunitas mereka sendiri, meski hal itu sangat bertentangan dengan norma mayoritas.
Disfungsi sosial ini juga bisa dijelaskan dalam konteks kegagalan lembaga-lembaga sosial utama seperti keluarga, agama, dan pendidikan dalam melakukan kontrol sosial yang efektif. Dengan melemahnya kontrol dari lembaga-lembaga tersebut, misalnya, keluarga yang gagal menjadi agen sosialisasi nilai moral yang kuat, atau pendidikan yang kurang memberikan pemahaman etis, individu cenderung mencari pengakuan dan afiliasi di luar norma yang diterima. Grup tertutup seperti Fantasi Sedarah menjadi tempat berlindung sekaligus laboratorium sosial di mana norma baru dibangun dan distandarisasi secara internal. Kesimpulannya, melalui lensa struktural fungsional Durkheim, kasus grup Fantasi Sedarah merupakan cerminan nyata dari disfungsi sosial yang timbul akibat melemahnya norma dan kontrol sosial yang efektif. Kondisi anomie yang tercipta tidak hanya memicu perilaku menyimpang secara individual, tapi juga mendorong terbentuknya kelompok-kelompok yang mendefinisikan ulang batasan moral mereka sendiri dalam konteks komunitas tertutup, yang sangat berbahaya jika dibiarkan berkembang tanpa pengawasan sosial yang memadai.