Istilah fenomena panic buying muncul pertama kali saat awal masa pandemi Covid-19, yang di mana orang-orang diseluruh dunia mulai berbondong-bondong membeli kebutuhan rumah. Menurut Tsao (Tsao, et al, 2019), panic buying adalah sebuah respon terhadap peningkatan tanda ketidakpastian yang mengarah kepada tindakan pembelian jumlah produk yang berjumlah banyak dengan tidak biasa. Namun setelah masa pandemi Covid-19 ini, bentuk panic buying tidak berubah, hanya saja terdapat perubahan terhadap objeknya. Pada masa ini, justru panic buying berubah menjadi mainan yang telah dicari dan dibutuhkan banyak orang, contohnya seperti perilisan boneka Labubu di Indonesia pada 2024, yang sempat viral akibat seorang penyanyi Girlband Kpop Lisa memiliki boneka Labubu tersebut, yang membuat Indonesia dan seluruh dunia langsung memburu boneka Labubu. Namun dikarenakan jumlah produksi yang masih terbilang jarang, boneka tersebut sulit dicari dan hanya sebagian toko yang menjual Labubu. Tetapi karena jumlahnya belum banyak, banyak para oknum reseller atau penjual individu maupun toko-toko menjualnya dengan harga yang tinggi diatas harga jual Labubu secara normal (harga retail). Di Indonesia sendiri harga boneka Labubu sempat melambung dari harga retail, yaitu mencapai Rp. 500,000 hingga Rp. 1.000,000. Namun masyarakat Indonesia pun banyak yang tidak ingin kalah memiliki boneka tersebut, dan tetap membeli Labubu dengan harga yang tinggi. Saat ini harga Labubu tidak lagi melambung dengan tinggi diluar toko-toko retail, karena jumlah produksi yang sudah meningkat diseluruh dunia.
sumber: Instagram, @lalalalisa_m dan Pinterest
Melihat fenomena panic buying mainan tersebut, dapat muncul pertanyaan kepada para pembelinya, yaitu apakah mainan yang mereka beli hanya menjadi sebuah hobi atau malah menjadi investasi?. Dalam kasus ini, dapat terbagi menjadi dua tipe individu yang turut mengikuti tren panic buying mainan yang sedang tren. Pertama, terdapat sebagian orang yang memiliki hobi, dipastikan Ia akan membeli mainan tersebut agar bisa melengkapi koleksinya, Ia rela mengeluarkan uang banyak agar tidak tertinggal dengan kolektor lain. Yang kedua, yaitu individu yang mengikuti tren panic buying mainan tetapi menjadikan mainan tersebut sebagai investasi singkat atau di masa depan, Ia ikut membeli mainan tersebut dengan harga normal, tetapi menjualnya dengan harga diatas harga retail atau normal, sehingga Ia bisa mendapatkan keuntungan dari penjualan mainan tersebut dengan jumlah yang cukup banyak.
Dalam konteks investasi, para individu yang menjual kembali dengan harga yang mahal seringkali membuat resah para kolektor atau pegiat hobi, yang terkadang membuat jumlah mainan tersebut mengalami penurunan ditoko-toko karena telah dihabiskan oleh para individu yang berinvestasi dengan mainan. Terkadang hal ini juga menimbulkan konflik kecil maupun besar satu sama lain, yang menyebabkan fenomena panic buying ini dapat menimbulkan kasus dalam ranah kolektor. Namun ada kalanya mereka yang berinvestasi pada mainan juga terkena batunya, seperti halnya para penimbun mainan mengetahui jika barang dagangannya telah mengalami peningkatan produksi massal, yang mengakibatkan mereka mengalami kerugian dan sulit mengembalikan modalnya. Dalam hal ini akan berdampak positif bagi kolektor, karena mereka mendapatkan barang tersebut dengan harga normal, meskipun dalam mendapatkan barang tersebut, masih tergolong kedalam fenomena panic buying.
Kembali kepada konteks awal, pertanyaan tentang fenomena panic buying mainan ini sebagai hobi atau investasi, dapat terjawab dengan dua perspektif berbeda. Jika dilihat dari sisi hobi, maka fenomena panic buying dapat menguntungkan para kolektor agar bisa mendapatkan mainan yang diinginkannya sesegera mungkin, namun dari sisi investasi, fenomena panic buying ini dapat menguntungkan mereka, karena dapat menjadikan mainan tersebut sebagai investasi bagi mereka. Maka dapat disimpulkan jika fenomena panic buying ini dapat bergantung kepada bagaimana motivasi individu yang mendalami kedua faktor tersebut, yang turut bergantung kepada orientasi individu tersebut dalam mengarah kepada salah satu faktor.
Referensi
Fadila, R, N. & Holik, A, H. (2021). Review Artikel: Fenomena Panic Buying terhadap Obat-Obatan pada Masa Pandemi Covid-19.
Tsao, Y. C., Raj, P. V. R. P., & Yu, V. (2019). Product Substitution in Different Weights and Brands considering Customer Segmentation and Panic Buying Behavior.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI