Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW bukan sekadar seremonial dengan lantunan sholawat dan ceramah agama. Lebih dari itu, momen ini adalah ruang refleksi yang mendalam. Sejauh mana kita sudah meneladani akhlak mulia beliau dalam kehidupan sehari-hari. terutama dalam konteks bangsa Indonesia saat ini.
Indonesia sedang berada di titik yang cukup gawat dalam soal moralitas elit politik. Bukan soal infrastruktur atau teknologi yang ketinggalan. melainkan krisis keteladanan yang semakin terkikis di tengah masyarakat. Banyak pejabat atau elit politik sering terlihat tergelincir karena ucapan dan sikapnya.
Setiap kata yang keluar dari mulut pejabat adalah konsumsi publik. Dengan adanya media sosial, pernyataan sekecil apa pun bisa membesar bak bola salju. lalu memicu reaksi publik yang luas bahkan memancing kegaduhan nasional.
Di sinilah refleksi Maulid Nabi SAW menjadi relevan. Nabi Muhammad SAW datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak manusia. Beliau adalah guru moral yang sejati. Sosoknya bukan hanya pemimpin spiritual tapi juga pemimpin sosial yang berhasil mengubah peradaban.
Sejak kecil, Nabi Muhammad SAW dikenal dengan gelar Al-Amin yang artinya orang yang terpercaya. Gelar ini tidak datang tiba-tiba melainkan hasil dari integritas dan konsistensi beliau dalam menjaga ucapan, perbuatan, dan janji.
Bahkan orang-orang Quraisy yang menentang dakwah beliau tetap mengakui kejujurannya. Ini adalah bukti nyata bahwa kejujuran adalah modal sosial yang luar biasa.
Bayangkan jika pejabat di Indonesia mau meneladani hal ini. Betapa damai dan tenteramnya negeri ini jika integritas menjadi budaya di kalangan elit politik.
Sayangnya, realitas berbicara lain. Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia di tahun 2024 naik ke peringkat 99 dari 180 negara dengan skor 37. Meski dianggap meningkat dari skor 34 dan peringkat 115 pada tahun 2023. Sayangnya, angka ini menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah dalam soal integritas pejabat.
Angka itu bukan sekadar statistik. Di baliknya, ada rakyat yang kecewa, ada dana publik yang bocor, ada kepercayaan yang terkikis. Sementara, masyarakat butuh figur pemimpin yang bisa diandalkan dan bukan yang hanya pandai bicara tanpa bukti nyata.
Public speaking pejabat memang penting. Namun, retorika yang hebat akan terasa hambar bila tidak dibarengi dengan kejujuran. Justru kejujuran adalah senjata utama dalam berbicara di depan publik. Kata-kata yang jujur lahir dari hati dan akan menyentuh hati.