Lihat ke Halaman Asli

A Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Garuda Indonesia di Persimpangan Awan

Diperbarui: 28 Maret 2025   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://bisnis.espos.id/garuda-indonesia-masih-rugi-rp115-triliun-meski-pendapatan-melonjak-4832-1783832

Garuda Indonesia di Persimpangan Awan


Pendapatan Tinggi, Tapi Kenapa Masih Rugi

Tahun 2024 seharusnya menjadi titik balik bagi Garuda Indonesia. Dengan pendapatan yang berhasil menembus Rp56,5 triliun, banyak yang berharap maskapai pelat merah ini kembali mencetak laba. Namun, kenyataannya justru sebaliknya: Garuda tetap membukukan kerugian sebesar Rp1,1 triliun. Ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin perusahaan dengan pendapatan sebesar itu masih kesulitan menutup biaya operasional?

Salah satu jawabannya terletak pada struktur biaya yang masih terlalu berat. Garuda belum sepenuhnya keluar dari warisan masa lalu: biaya sewa pesawat yang tinggi, manajemen armada yang tidak optimal, serta beban operasional non-esensial seperti keberadaan kantor layanan fisik di banyak kota besar. Di era digital, kantor-kantor ini bukan hanya kurang relevan, tapi juga menyerap biaya tetap yang besar.

Restrukturisasi memang pernah dilakukan, tetapi lebih banyak menyentuh aspek utang dan kewajiban jangka pendek. Yang belum disentuh secara mendalam adalah transformasi model bisnis yang adaptif terhadap perubahan pasar. Maskapai global telah lama bergerak ke arah digitalisasi layanan, optimalisasi armada, dan ekspansi pasar internasional. Sementara Garuda, meskipun punya potensi besar di pasar domestik dan ibadah, masih terjebak pada pendekatan lama yang tidak agile dan minim inovasi pendapatan di luar penjualan tiket.

Di Mana Posisi Garuda Dibanding Maskapai Dunia

Jika ingin memahami kondisi Garuda secara objektif, perbandingan dengan maskapai nasional lain di kawasan dan dunia menjadi penting. Pada tahun 2024, Garuda Indonesia mencatatkan pendapatan sebesar Rp56,5 triliun atau sekitar US$3,6 miliar, namun tetap mencatatkan kerugian Rp1,1 triliun. Bandingkan dengan Singapore Airlines yang mencetak pendapatan lebih dari US$12 miliar dengan laba bersih mencapai US$1,7 miliar. Turkish Airlines bahkan lebih impresif, dengan pendapatan di atas US$20 miliar dan laba bersih sekitar US$1,6 miliar. Saudia sebagai sesama pemain di sektor penerbangan ibadah juga berhasil membukukan laba, meski dengan pendapatan "hanya" US$6,8 miliar.

Dari sisi jumlah armada, Garuda tidak jauh tertinggal. Namun masalahnya terletak pada efisiensi dan diversifikasi pendapatan. Maskapai seperti Singapore Airlines dan Qatar Airways telah mengembangkan berbagai sumber pendapatan non-tiket seperti layanan kargo, penjualan paket wisata, dan kemitraan loyalitas global. Turkish Airlines secara strategis menjadikan Istanbul sebagai hub penghubung Asia--Eropa--Afrika, menjadikan rute-rutenya panjang dan bernilai tinggi. Sementara Garuda masih sangat bergantung pada pasar domestik dan belum maksimal memanfaatkan rute internasional yang berpotensi mendatangkan pendapatan lebih tinggi.

Garuda juga kalah cepat dalam mengadopsi digitalisasi operasional dan layanan pelanggan. Ketika maskapai dunia mengurangi beban dengan digital check-in, pengelolaan data pelanggan berbasis AI, dan integrasi layanan melalui satu platform, Garuda masih terbebani oleh sistem yang tersebar, terfragmentasi, dan belum efisien. Maka, bukan hanya soal seberapa besar pendapatan, tapi seberapa efisien dan cerdas pendapatan itu dikelola. Di sinilah Garuda tertinggal dalam persaingan global.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline