Negara butuh suara yang jernih, dan suara seperti itu idealnya datang dari tokoh yang dihormati.
Gerakan Nurani Bangsa hadir sebagai rumah bagi suara tersebut. Di dalamnya ada figur lintas agama, mayoritas senior dan terpandang.
Baru-baru ini GNB bertemu Presiden Prabowo pada 11 September 2025 di Istana Merdeka (Sekretariat Kabinet, 2025).
Pertemuan itu panjang, sekitar tiga jam. Tujuan utamanya menyampaikan pesan kebangsaan. Pesan yang sebenarnya sudah mereka suarakan sebelumnya.
Hanya saja, ada dinamika baru yang muncul di ruang itu.
Laode M. Syarif, wakil GNB, menyebut satu hal penting. Presiden banyak bercerita soal keluh kesahnya.
Di titik ini, wajar jika muncul pertanyaan tajam. Apakah pertemuan itu benar-benar efektif? Sejauh apa kritik GNB bisa menembus telinga kekuasaan? Poin ini layak dibedah.
Mendengar keluh kesah seorang presiden tentu manusiawi. Tapi GNB datang membawa agenda. Mereka membawa tuntutan reformasi yang menguat setelah gelombang demo Agustus 2025 (Detikcom, 2025).
Jika sebagian besar waktu habis untuk mendengarkan, ruang bagi kritik mengecil. Bisa jadi ini strategi politik yang halus, soft power yang efektif.
Fokus GNB bergeser, empati tumbuh, lalu ketajaman mengendur.
Sebelum undangan itu, GNB sudah merilis lima pernyataan kritis sejak Kabinet Merah Putih terbentuk.