Orang datang ke kebun binatang dan melihat hal yang sama berulang. Harimau mondar-mandir di garis yang itu-itu saja. Geraknya seperti kaset diputar ulang.
Di sudut lain, beruang mengangguk-angguk tanpa henti. Pola yang repetitif ini memang terasa janggal.
Dari situ banyak orang menarik kesimpulan yang mirip. Pasti hewan itu sedang stres berat. Pasti mereka menderita. Lalu kandang pun dilabeli sebagai penjara. Jeruji dibaca sebagai simbol perampasan kebebasan.
Pandangan seperti ini sangat umum, gampang dicerna. Tapi apakah sesederhana itu? Mungkin ada sisi lain yang sering luput.
Gagasan bahwa kebun binatang identik dengan penjara perlu ditinjau ulang, dengan kepala dingin. Zaman berubah. Peran kebun binatang modern ikut bergeser, dan pergeserannya besar.
Lembaga yang terakreditasi kini bukan sekadar tempat memajang satwa. Mereka menjadi pusat konservasi, menjalankan strategi kesejahteraan satwa yang dirumuskan badan seperti World Association of Zoos and Aquariums.
Misi utamanya menyelamatkan spesies dan menahan laju ke jurang kepunahan. Programnya tidak asal jalan, melainkan dirancang dengan cermat. Tanpa tempat-tempat ini, sebagian satwa bisa hilang begitu saja.
Beberapa yang ikonik mungkin lenyap. Jadi, untuk banyak kasus, kandang bukan penjara. Kandang bisa menjadi benteng terakhir.
Ada juga narasi yang mengagungkan alam liar sebagai surga kebebasan. Kedengarannya puitis, tetapi realitasnya jauh lebih keras.
Hidup di alam liar itu berat, kadang brutal. Satwa harus terus berjuang untuk bertahan. Ancaman datang bertubi-tubi. Kelaparan, penyakit, dan predator adalah menu harian (National Library of Medicine, 2015).
Banyak yang bahkan tidak sempat mencapai usia dewasa. Bandingkan dengan pusat konservasi yang dikelola baik. Makanan tersedia dengan konsisten. Perawatan medis ada ketika dibutuhkan. Ancaman predator tidak hadir.