Lihat ke Halaman Asli

Apotek Desa: Apoteker Masuk Desa Bukan Apoteker Goes To Campus

Diperbarui: 14 Juni 2025   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Jas Putih Tulang (Sumber: Dok. Pribadi/Subagiyo, Ahmad))

CILEUNGSI, SUBAGIYO -- Pemerataan tenaga kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam sistem kesehatan Indonesia. Meskipun jumlah lulusan dari fakultas kedokteran, keperawatan, kebidanan, dan farmasi meningkat tiap tahunnya, distribusi mereka ke daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK) tetap jauh dari merata.

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi ketimpangan ini. Di antaranya, Wajib Kerja Sarjana (WKS), Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT), dan Nusantara Sehat (NS). Ketiga program ini dirancang dalam konteks dan zamannya masing-masing, namun dengan tujuan yang sama: memastikan seluruh rakyat Indonesia mendapatkan layanan kesehatan yang adil dan berkualitas.

Kini, saat tantangan distribusi tenaga kesehatan semakin kompleks, muncul pertanyaan: apakah ketiga program itu cukup? Atau perlu disinergikan menjadi satu sistem yang lebih kuat?

Wajib Kerja Sarjana: Semangat Nasionalisme yang Terlupakan

WKS adalah program wajib nasional yang lahir dari semangat pengabdian. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1961, semua sarjana lulusan perguruan tinggi negeri maupun swasta diwajibkan mengabdi di instansi pemerintah selama tiga tahun.

Namun, sejak bergulirnya reformasi birokrasi dan terbitnya UU Ketenagakerjaan tahun 2003, program ini perlahan surut dari praktik kebijakan. Padahal, semangatnya masih relevan. Banyak pihak, seperti ARSADA (Asosiasi Rumah Sakit Daerah), mendorong agar WKS dihidupkan kembali sebagai strategi distribusi SDM yang sistematis.

Dokter PTT: Fleksibel, Tapi Tak Selalu Stabil

Program Dokter PTT lebih dikenal masyarakat karena fleksibilitasnya. Dokter dapat mendaftar secara mandiri dan ditempatkan di puskesmas atau rumah sakit yang membutuhkan. Gaji yang diterima berkisar antara Rp 3,5 hingga 5 juta per bulan, ditambah insentif daerah jika tersedia.

Namun, program ini juga menyimpan sejumlah catatan. Gaji yang tidak selalu stabil, beban kerja tinggi, dan minimnya fasilitas menjadi keluhan banyak peserta. Tidak jarang, dokter PTT merasa sekadar "mengisi kekosongan", tanpa jaminan jenjang karier yang berkelanjutan.

Nusantara Sehat: Pembinaan Tim yang Menjanjikan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline