Seekor Kepiting Datang dengan Pesan
Mentari sore memantulkan cahaya keemasan di permukaan rawa yang tenang, membuat dedaunan basah dan batang pohon tampak seperti ukiran kaca yang berkilau dalam pelukan alam. Suara serangga menggumamkan kidung senja, sementara tiang-tiang sarang yang belum rampung berdiri canggung di antara rumput ilalang, seperti doa yang terpotong di tengah-tengah. Di bawah kaki sarang, lumpur yang dulu dipijak penuh semangat kini terasa seperti beban berat.
Musamus belum berbicara sejak pagi. Ia masih dalam diamnya yang penuh arti. Tetapi di sela keheningan itu, terdengarlah suara gemeretak lembut dari kejauhan, seperti kaki tua yang menyeret cangkang di atas lumpur.
Seekor kepiting rawa muncul perlahan, dengan cangkang kehijauan yang telah keropos oleh waktu dan sepasang capit besar yang bergerak lambat tapi tegas. Semua semut yang sedang bekerja berhenti. Beberapa mengerutkan antena, sebagian lain berbisik.
"Itu... Tua Kepa," gumam Rangga, mata membelalak.
"Dulu dia mencemooh kita, menganggap usaha kita sia-sia," sahut Luma pelan.
Tua Kepa, si kepiting tua dari palung terdalam Rawa Biru, memang dikenal keras kepala dan sinis. Dulu, ketika sarang baru mulai dibangun, ia sering muncul sambil berkata, "Untuk apa kalian mendirikan menara lumpur? Hujan akan menghancurkannya. Air akan menelannya." Namun sore itu, ia datang membawa sesuatu. Sebongkah serat rawa, berwarna cokelat gelap, basah dan kuat seperti otot tua yang tak mudah lelah.
Tua Kepa mendekat pelan. Lumpur melekat di sekujur tubuhnya, tapi ia tampak kukuh.
"Aku datang... bukan untuk mengutuk," katanya perlahan, suaranya serak seperti ranting tua yang patah. "Aku datang untuk menyerahkan ini." Ia mengangkat salah satu capitnya, menunjukkan serat itu.
Musamus, yang berdiri di dekat akar pohon, perlahan melangkah maju. Matanya masih menyimpan keheningan hari-hari sebelumnya, tapi kali ini ada sedikit cahaya di dalamnya, cahaya yang tak terlihat, tapi terasa.