Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Gereda Tukan

TERVERIFIKASI

Penulis

Kokok yang Membuaikan: Pelajaran bagi Pemimpin yang Terlalu Percaya Diri

Diperbarui: 25 September 2025   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kokok yang Membuaikan (Dokumentasi Pribadi)

Seekor ayam jantan berdiri gagah di kandangnya, berkokok lantang setiap fajar, lalu berbangga seolah matahari patuh pada suaranya. Ia lupa, cahaya pagi tidak lahir dari paruhnya, melainkan dari putaran semesta yang tak tunduk pada siapa pun. Begitu pula para pemimpin kita, yang kadang mengira roda bangsa berputar hanya karena genggamannya. Padahal, rakyatlah denyut hidup negeri ini, dan sejarah bergerak jauh melampaui satu nama. Maka, patutkah kita bertanya: benarkah kokok pemimpinlah yang membuat "matahari bangsa" terbit?

Arogansi Kekuasaan

Dalam desau napas kekuasaan, ada pemimpin yang larut dalam gema kokoknya sendiri, bahwa segala sesuatu tunduk padanya. Mari sejenak kita soroti bayangan-bayangan nyata dari arogansi itu, agar rindang keadilan tak kehilangan daunnya.

Contoh nyata sikap arogan pemimpin: Dalam media dan laporan masyarakat, ada tudingan terhadap pejabat publik yang menggunakan kekuasaan untuk menekan lawan, meremehkan kritik, atau merendahkan rakyat melalui komentar verbal. Diungkapkan bagaimana pejabat kadang berbicara dengan nada yang menghina, bukan membangun.

Isu lain: demonstrasi di Pati, Jawa Tengah, menolak kebijakan kenaikan pajak lokal yang dianggap sangat memberatkan, karena rakyat merasa keputusan dibuat dengan sikap otoriter dan tanpa konsultasi memadai.

Selain itu, laporan publik dan tulisan opini mengemukakan bahwa beberapa pemimpin tampak enggan membuka ruang dialog dan lebih memilih "berkuasa lewat suara keras" daripada mendengar suara lembut rakyatnya. Walau sering tidak dipublikasikan dalam dokumen akademis berat, isu ini terus muncul di media massa dan diskusi publik.

Tanda-tanda arogansi, misalnya merasa paling tahu (absolut). Pemimpin yang selalu menganggap pendapatnya yang paling benar, tanpa memberi ruang untuk pendapat lain. Selain itu, enggan mendengar rakyat atau mengabaikan aspirasi. Kebijakan dibuat dari atas ke bawah, tanpa konsultasi atau dialog publik secara memadai. Berikutnya, menolak kritik atau tidak mau dikoreksi. Kritik dianggap sebagai serangan, bukan proses penyempurnaan; lebih memilih membungkam atau mengabaikan daripada menjawab. Akhirnya, dekat dengan sanjungan, jauh dari pertanyaan sulit. Lingkungan sekitar hanya memuji, bukan yang menantang pemikiran atau menanyakan akuntabilitas.

Bahaya arogansi: terputus dari realitas. Pemimpin arogan bisa kehilangan sentuhan dengan kebutuhan rakyat sehari-hari. Bila suara rakyat diabaikan, kebijakan bisa menjauh dari situasi nyata lapangan, menyebabkan ketidakadilan atau dampak buruk yang tidak diperkirakan. Selanjutnya, jilangnya kepercayaan publik: rakyat akan merasa dipinggirkan, lalu timbul rasa skeptisisme, bahkan perlawanan. Sebuah pemimpin yang arogan memupuk keraguan terhadap integritas, sehingga legitimasi kepemimpinannya melemah. Berikut, potensi konflik sosial: bila rakyat terus merasa tidak didengar, muncul kekecewaan yang bisa meledak ke dalam demonstrasi, protes, atau instabilitas politik. Akhirnya, kehilangan nilai moral dan teladan: kepemimpinan yang arogan bukan hanya merusak citra pribadi pemimpin, tetapi juga membentuk budaya di mana kekuasaan dianggap sebagai hak untuk mendominasi, bukan amanah untuk melayani.

Dalam lembayung kekuasaan, bahaya terbesar bukanlah kekuatan yang nyata, melainkan kekuatan yang yakin ia tak pernah salah, padahal bayangan dari kesombongan selalu mengaburkan pandangan terhadap kesiangan fajar rakyat.

Kerendahan Hati sebagai Inti Kepemimpinan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline