"Pembangunan seharusnya tidak menyakiti; tapi di Merauke, pembangunan dimulai dengan luka." Inilah ironi paling telanjang dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dijalankan negara atas nama ketahanan pangan dan energi. Di atas tanah adat seluas lebih dari dua juta hektare, negara menancapkan ambisi industrialisasi pertanian dan bioenergi tanpa menghormati hak paling mendasar: hak hidup masyarakat adat. Alih-alih memberdayakan, PSN Merauke justru menghapus eksistensi mereka yang telah menjaga hutan, rawa, dan tanah warisan leluhur selama berabad-abad. Masyarakat adat tidak pernah dilibatkan; tanah mereka dialihkan secara sepihak, di bawah bayang-bayang intimidasi dan militerisasi. Ini bukan sekadar penggusuran, melainkan penyingkiran sistematis yang dibungkus jargon pembangunan. Ketika pembangunan melukai dan mengabaikan pemilik tanah, maka yang dibangun bukan kesejahteraan, melainkan ketidakadilan yang dilembagakan, dan negara tak bisa terus berlindung di balik dalih "kepentingan nasional" sambil menutup mata terhadap penderitaan masyarakat adat di Merauke.
Masalah Utama: Penyingkiran Masyarakat Adat
Di atas peta negara, tanah adat di Merauke direduksi menjadi sekadar "tanah kosong". Padahal, bagi masyarakat adat Marind, Mandobo, dan Auyu, tanah bukan hanya ruang hidup, tetapi juga ruang roh, ingatan, dan identitas. Dalam praktik penguasaan proyek PSN Merauke, wilayah-wilayah adat ini diserahkan secara sepihak kepada perusahaan-perusahaan raksasa seperti PT Global Papua Abadi dan PT Semesta Gula Nusantara tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara layak (Free, Prior and Informed Consent/FPIC) dari pemilik ulayat.
Dalam laporannya, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (2023) mencatat bahwa proses pengalihan tanah-tanah di distrik Ulilin, Eligobel, Tanah Miring, dan lainnya berlangsung tanpa konsultasi berarti. Bahkan, dalam beberapa kasus, masyarakat diintimidasi dan dipaksa menandatangani dokumen yang tidak mereka pahami di bawah pengawasan aparat bersenjata.
Ini bukan sekadar penggusuran fisik. Ini adalah penyingkiran yang menyeluruh, hak hidup dilumpuhkan, sumber pangan dan obat-obatan dihancurkan, ritus dan situs sakral dikapling menjadi konsesi industri. Identitas budaya yang telah diwariskan lintas generasi tercerabut dari tanahnya. Penelitian Sophie Chao, yang termuat dalam In the Shadow of the Palms: More-than-Human Becomings in West Papua (2022), menunjukkan bahwa masyarakat Marind mengalami "kehilangan makna hidup" akibat hancurnya relasi spiritual antara manusia dan alam karena ekspansi kelapa sawit di Merauke.
Parahnya, semua ini dilegitimasi oleh negara atas nama pembangunan. Negara menjadi aktor utama yang tidak hanya mengabaikan, tapi justru aktif membiarkan pelanggaran hak-hak dasar terjadi. Militer hadir bukan sebagai penjaga keamanan warga, melainkan sebagai alat tekanan atas rakyatnya sendiri.
Jika tanah diambil, budaya dimatikan, dan manusia diabaikan, maka yang kita saksikan bukan pembangunan, melainkan penghapusan yang sistematis. Etnosida yang disamarkan dalam kebijakan ekonomi.
Irama yang Ironis: Pembangunan di Atas Derita
Proyek Strategis Nasional di Merauke dijajakan dalam bahasa mulia: demi ketahanan pangan nasional, swasembada energi, kemandirian agribisnis. Pemerintah menyebutnya bagian dari "langkah strategis memperkuat fondasi ekonomi bangsa." Tapi siapa sebenarnya yang dimaksud "bangsa" dalam narasi ini? Dan siapa yang harus membayar harganya?
Dalam praktiknya, proyek pangan dan energi skala besar ini dijalankan dengan model eksploitatif, menyerahkan jutaan hektare tanah adat kepada korporasi raksasa atas nama investasi. Alih-alih memperkuat ketahanan lokal, proyek ini menghancurkan ketahanan pangan masyarakat adat yang justru telah hidup berdikari selama berabad-abad, bergantung pada hutan, rawa, dan tanah ulayat yang mereka kelola secara arif.