Lihat ke Halaman Asli

Adriyanto M

Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 7

Diperbarui: 20 Juni 2025   09:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

Bab 7: Rahasia Nyai Ratna

Sebelum lanjut, sudah baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, dan Bab 6 belum?

Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.

Penemuan simbol kabut hitam di dinding Gua Langit meninggalkan jejak dingin yang merayap di hati setiap penghuninya. Malam itu, tidur tak lagi membawa istirahat, hanya kewaspadaan yang menusuk. Obor-obor tambahan dinyalakan di lorong-lorong gua, dan Pangeran Wirasakti memerintahkan patroli diam-diam di sekitar pintu masuk tersembunyi. Ketegangan terasa seperti dawai yang ditarik hingga batasnya, siap putus kapan saja.

Bagi Angin, atau Sari, suasana mencekam ini membangkitkan kembali trauma lamanya. Setiap suara gema langkah di dalam gua, setiap bayangan yang menari di dinding batu, membuatnya tersentak. Ledakan kecil di pasar tempo hari, yang tanpa sadar memicu kekuatannya, kini terasa seperti pertanda. Ia teringat Nyai Ratna, ibu angkatnya, yang wajahnya selalu menyimpan lapisan kesedihan di balik ketegasannya.

Sebelum ia berangkat ke Gua Langit, Nyai Ratna telah memeluknya erat, lebih erat dari biasanya. Air mata menggenang di pelupuk mata wanita itu, sesuatu yang jarang sekali Angin lihat. Selain sebuah kalung perak sederhana dengan liontin berbentuk kuntum melati kuncup yang belum pernah ia lihat sebelumnya, Nyai Ratna juga menyelipkan sepucuk surat yang sudah tampak tua ke tangannya.

"Bukalah hanya jika kau merasa benar-benar perlu, Sari," bisik Nyai Ratna kala itu, suaranya serak. "Atau jika kau merasa... berbeda."

Angin merogoh kalung itu dari balik bajunya, merasakan dinginnya logam di kulitnya. Ia juga mengeluarkan surat dari lipatan kain di pinggangnya. Kertasnya rapuh, tintanya sedikit memudar di beberapa bagian. Selama ini ia menahan diri, takut akan apa pun yang tertulis di dalamnya. Tapi sekarang, dengan ancaman Pasukan Bayangan VOC yang mengintai dan kekuatan aneh yang kadang muncul tak terkendali dari dalam dirinya, ia merasa saatnya telah tiba. Berbeda. Ya, ia memang merasa sangat berbeda.

Dengan tangan sedikit gemetar, di sudut gua yang remang-remang diterangi sebuah obor, Angin membuka lipatan surat itu. Tulisan tangan Nyai Ratna, yang biasanya tegas dan rapi saat menulis resep jamu, kini tampak sedikit bergetar, seolah ditulis dengan menahan gejolak emosi.

"Anakku Sari, Cahaya Hatiku,

Jika kau membaca surat ini, berarti Ibu sudah tak sanggup lagi menyimpan rahasia yang membebani jiwa Ibu selama enam belas tahun ini. Atau, kau sendiri telah merasakan panggilan takdir yang tak bisa lagi diabaikan. Ketahuilah, Nak, ada cerita di balik kelahiranmu, cerita yang pahit sekaligus penuh keajaiban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline