Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) swasta masih terus terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan bisnis sekaligus memicu kekhawatiran terhadap iklim investasi asing di Tanah Air.
Pengamat transportasi sekaligus Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Ki Darmaningtyas, menilai fenomena ini bukanlah hal baru. Menurutnya, situasi kelangkaan BBM swasta hanyalah bagian dari persaingan dagang biasa.
"Sejak Pertamina terjegal kasus oplosan itu, masyarakat cenderung membeli BBM di SPBU seperti Shell, Vivo, dan sebagainya. Sehingga, pemasaran atau penjualan dari Pertamina kan turun," ujar Darma saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.
Darma menilai kebijakan pembatasan impor BBM untuk swasta berpotensi menjadi bentuk pemaksaan terselubung.
"Karena itu, supaya masyarakat itu kembali ke Pertamina, ya ada semacam paksaan seperti sekarang ini. Tetapi, ini kan sebetulnya bisnis yang tidak fair," tegasnya.
Menurutnya, Pertamina seharusnya tidak perlu khawatir dengan keberadaan SPBU asing. Kunci utama ada pada pelayanan dan kualitas produk yang diberikan kepada konsumen.
"Kalau mereka percaya pada Pertamina, kualitas BBM Pertamina, maka tidak perlu takut bahwa konsumen akan hijrah ke SPBU swasta asing. Sehingga, menurut saya, pemerintah mestinya tetap membuka keran impor bagi SPBU swasta asing ini," kata Darma.
Ia menambahkan, masyarakat memiliki hak untuk menentukan pilihan sesuai kebutuhan mereka.
"Biarkan pasar yang menilai, konsumen itu punya hak untuk menentukan dan untuk memilih yang terbaik," ujarnya.
Lebih jauh, Darma mengingatkan bahwa kebijakan tidak memperpanjang izin impor BBM justru kontraproduktif terhadap iklim investasi. Hal ini dapat membuat investor asing merasa tidak nyaman untuk menanamkan modal di Indonesia.