Indonesia itu, jujur aja, memang negara yang sangat kaya. Alamnya luar biasa. Gunung, sungai, laut, dan yang sering kali kita lupakan perut buminya menyimpan kekayaan tambang yang melimpah ruah. Emas, batu bara, nikel, tembaga, timah... semua ada. Bahkan, kalau kita lihat laporan internasional, Indonesia termasuk penghasil nikel terbesar di dunia. Keren, kan? Tapi sayangnya, kekayaan itu nggak otomatis bikin kita sejahtera. Malah sering terdengar suara-suara sumbang: "Kok di tengah tambang emas, masih ada sekolah reyot?" atau "Kenapa jalanan di desa tambang tetap rusak parah, padahal truk-truk tambang lalu lalang tiap hari?"Ya memang, ini jadi ironi yang sulit dibantah. Kaya tambang, tapi rakyatnya masih miskin manfaat. Ibarat pesta besar, tapi tuan rumahnya cuma jadi pelayan. Kebayang nggak, rasanya?
Kita Lihat di Lapangan...
Coba deh jalan-jalan ke daerah-daerah penghasil tambang. Misalnya di Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Di sana, kita bisa lihat sendiri betapa megahnya alat berat dan truk tambang, betapa masifnya proyek penggalian. Tapi di balik itu, masyarakat sekitar masih hidup dalam keterbatasan. Akses pendidikan rendah, fasilitas kesehatan minim, dan pekerjaan yang tersedia pun terbatas. Ironis, kan?
Banyak warga bilang, mereka lebih sering merasakan dampak negatif ketimbang keuntungan. Sungai yang dulu jernih kini keruh, hutan gundul, dan lahan pertanian perlahan menghilang. Padahal dulu, itu sumber hidup mereka. Dan ya, memang harus kita akui, sering kali mereka justru kehilangan lebih banyak daripada yang mereka dapat. Kan lucu, tanah sendiri digali, tapi yang menikmati hasilnya malah orang luar.
Kenapa Bisa Begini, Ya?
Kalau kita mau jujur, ini bukan cuma soal tambangnya. Ini soal sistem. Soal bagaimana kebijakan dibuat dan bagaimana distribusi manfaat diatur. Kita sering kali terlalu sibuk mengejar investasi besar, tapi lupa memastikan bahwa investasi itu membawa dampak nyata untuk warga sekitar.
Kan, harusnya, kalau daerah itu kaya tambang, ya warganya juga ikut naik kelas hidupnya. Tapi kenyataannya? Masih banyak yang justru kehilangan tanah, pekerjaan, bahkan identitas budaya. Tambang itu memang padat modal, bukan padat karya. Artinya, meskipun uang yang berputar besar, tapi serapan tenaga kerjanya sedikit. Dan yang dipekerjakan pun kadang bukan dari warga lokal. Jadi jangan heran kalau masyarakat setempat merasa jadi penonton di tanah sendiri. Memang menyakitkan, kan?
Tapi Nggak Semua Buruk, Kok...
Ada juga beberapa perusahaan tambang yang mulai sadar. Mereka pelan-pelan mengadopsi prinsip keberlanjutan. Misalnya, melakukan reklamasi lahan, membangun sekolah, atau memberi pelatihan ke warga. Tapi ya, itu masih sebagian kecil. Dan PR-nya masih banyak. Kita butuh sistem yang lebih berpihak. Harus ada pengawasan yang ketat, keterbukaan data, dan ruang dialog antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Nggak bisa lagi cuma mengandalkan CSR formalitas doang. CSR yang cuma tempelan, kan nggak cukup.
Harapan Masih Ada
Indonesia bisa, kok, menjadikan tambang sebagai motor kemajuan asal kita sepakat bahwa nilai tambang bukan hanya pada berapa ton yang diekspor, tapi juga pada seberapa besar manfaat yang dirasakan rakyat. Jangan sampai anak cucu kita hanya mewarisi lubang tambang, bukan kehidupan yang lebih baik. Kan, yang kita perjuangkan bukan cuma kekayaan hari ini, tapi juga masa depan. Dan masa depan itu, ya harus dimulai dari sekarang dengan cara yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bijaksana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI