Lihat ke Halaman Asli

Adelia Dwi Rizki Damayanti

Mahasiswi S1 Keperawatan STIKes Mitra Keluarga, NIM : 201905004

Stop Bullying! Jaga dan Lindungi Anak Berkebutuhan Khusus

Diperbarui: 21 Oktober 2022   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini bullying menjadi hal yang tidak asing lagi kita dengar, khususnya pada anak berkebutuhan khusus atau disabilitas. Bullying merupakan perilaku perundungan atau penindasan terhadap orang lemah dengan/tanpa kekerasan yang dilakukan secara sengaja oleh satu atau sekelompok orang. Fenomena bullying seringkali dikaitkan dengan kekerasan verbal maupun non verbal, kekerasan fisik, dan stigma negatif. Mirisnya, pelaku bullying paling banyak ditemukan yaitu anak dibawah umur. Pelaku bullying yang masih dibawah umur seringkali merasa dirinya memiliki kekuasaan atau status sosial yang lebih tinggi sehingga merasa lebih kuat dan lebih baik dibanding orang yang di bully-nya. 

Menurut data BPS dalam Profil Anak Indonesia pada 2020 (KEMENPPPA, 2021), diketahui ada sekitar 0,79 persen atau 650 ribu anak penyandang disabilitas dari 84,4 juta anak Indonesia. Hingga 30 Maret 2021, diketahui sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak korban mengalami kekerasan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada 2019 juga menunjukkan terdapat 13,5% anak belum pernah sekolah dan 9,58% tidak lagi bersekolah. Sementara itu, Ketua Yayasan SAPDA, Nurul Sa'adah juga menekankan bahwa angka kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas masih tergolong tinggi, apalagi ditengah pandemi.

Perilaku bullying dapat terjadi akibat faktor internal maupun eksternal yang dimiliki oleh seseorang, terutama faktor lingkungan. Kondisi lingkungan yang kurang baik merupakan faktor yang sangat krusial terhadap rusaknya tumbuh kembang anak dalam pembentukan perilaku dan karakter. Apabila di lingkungan sekitar anak tidak dapat memberikan pemahaman mengenai arti saling menerima dan menghargai perbedaan, maka hal inilah yang akan membentuk anak memiliki perilaku bullying yang dapat dilakukan kepada siapapun (Cahyandari & Wangi, 2022). Perilaku bullying dapat terjadi pada siapa saja, baik pada orang normal secara fisik dan mental ataupun sebaliknya. Namun dalam kasus ini anak disabilitas kerap kali menjadi sasaran empuk sebagai bahan untuk bully.

Anak disabitilitas merupakan mereka yang belum berusia 18 tahun dengan keterbatasan fisik, mental, intelektual, maupun sensorik sebagai hambatan untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani, maupun sosial secara layak seperti anak lainnya. Pada kondisi disabilitas fisik anak memiliki gangguan atau hambatan dalam kemampuan geraknya seperti berjalan, berlari, menggerakkan tangan, dan lain-lain, kemudian pada anak dengan disabilitas penglihatan atau yang sering kita sebut tunanetra adalah anak yang memiliki keterbatasan dalam melihat dunia sehingga seringkali anak dengan disabilitas penglihatan lebih murung. Selanjutnya disabilitas pendengaran atau yang sering kita sebut tunarungu yaitu anak yang memiliki hambatan dalam mendengar, dan disabilitas intelektual yaitu anak yang memiliki hambatan dalam aspek intelektual, biasanya anak dengan disabilitas intelektual memiliki (IQ < 70) dan memiliki dua atau lebih hambatan dalam keterampilan adaptif misalnya; hambatan dalam komunikasi, kemandirian, dan keterampilan dalam bidang akademik (Nurakhmi et al., 2019).

whatsapp-image-2022-10-21-at-10-26-09-6352262208a8b52438089442.jpeg

Kondisi berikut yang membuat anak disabilitas sangat rawan memperoleh bullying baik secara fisik, verbal maupun non verbal. Jika hal ini terjadi secara berulang maka dapat berdampak serius bagi proses pertumbuhan dan psikologis korban, seperti anak menjadi gelisah, cemas, merasa tidak aman dan takut untuk bertemu dengan orang lain, kurang percaya diri, merasa dirinya tidak berharga dan menarik diri dari lingkungan sekitar, prestasi menurun karena kesulitan dalam berkonsentrasi, anak akan memiliki trauma berkepanjangan, bahkan seringkali ada yang ingin membalaskan bullying yang dialaminya sehingga anak menjadi kasar, emosional, dan sering berbohong.

Melihat banyaknya dampak yang dapat terjadi pada korban bullying, penting bagi pemerintah dalam upaya melakukan program perlindungan bagi anak disabilitas yang mengalami bullying. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar menjelaskan bahwa "diperlukan perhatian dan usaha bersama dari semua stakeholder untuk mendukung pemenuhan hak, serta memberikan perlindungan secara sigap terhadap anak, terutama anak penyandang disabilitas, sebab pada faktanya masih banyak kasus bullying yang menimpa penyandang disabilitas terlebih terhadap yang masih dibawah umur". Dalam hal ini pemerintah dapat memberikan upaya preventif terhadap anak non disabilitas dan anak disabilitas dengan memberikan pendidikan dan program yang setara. Program tersebut dapat diberikan melalui pendidikan yang sama tanpa adanya perbedaan sehingga tidak tercipta kesenjangan antara anak normal dengan anak disabilitas.

 Dari maraknya kasus bullying yang terjadi pada anak disabilitas dapat kita lihat bahwa masih kurangnya rasa menghargai serta empati dari anak normal terhadap anak disabilitas. Maka diharapkan program preventif dalam upaya mengurangi kasus bullying pada anak disabilitas ini dapat membuat mereka saling mengenal dan mendukung satu sama lain, serta menumbuhkan rasa empati terhadap anak disabilitas agar anak disabilitas tidak dipandang sebelah mata dan memperoleh perlakuan yang sama serta dapat bersosialisasi seperti anak normal lainnya (Cahyandari & Wangi, 2022).

 

Referensi :

Cahyandari, C., & Wangi, B. S. (2022). Upaya Preventif Bagi Anak yang Mengalami Bullying. 8, 23--30. 

Nurakhmi, R., Santoso, Y. B., & Pangestu, P. D. (2019). Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republi Indonesia Deputi Bidang Perlindungan Anak - 2019.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline