Lihat ke Halaman Asli

Sabri Leurima

Ciputat, Indonesia

Goyang Kaka Enda dan Penghancuran Kebudayaan di Maluku

Diperbarui: 3 September 2019   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: youtube kebongsirih

Disaat goyangan Kaka Enda menjadi primadona generasi jaman now di Maluku khususnya kota Ambon, para pejabatnya turut terlihat histeris membungkusnya sebagai bentuk kebudayaan baru yang tinggi derajatnya.

Sepertinya Goyang Kaka Enda ini ingin mendegradasikan Tari Lenso, Tari Cakalele, Tari Sawat yang berbunyi tradisional. Bahasa kerennya "sudah tidak gaoel dengan perkembangan jaman lagi".

"Ah sudahlah tinggalkan saja. Menari itu tidak usah pakai parang kayu, coret-coret badan pakai arang tampurung, atau lenso atau lagi musiknya dari gong, suling dan tifa. Lebih baik buang saja ke laut. Sudah terlihat norak dan kampungan".

Berbeda dengan Kaka Enda yang memakai gendre music remix, bernada modern, pokonya jaman now bangetlah. Bahkan style goyangnya pun sungguh membuat tubuh indah ini terlihat aduhai sexy-nya.

Cukardelen sudah e, struk otak kini telah menyerang kepala anak muda dan para pejabatnya. Sehingga identitas terhenti atas kehendak  minimnya ilmu pengetahuan dan bacarita sejarah.

Kata pejabat tinggin Ambon itu, Goyang Kaka Enda harus dilihat sebagai wadah guna membangun harmonisasi warga. Pertanyaannya, kenapa harus Kaka Enda, kenapa tidak tarian cakalele massa atau Sawat Massa atau tari lenso massa?

Handeke, pakai otakmu. Pergunakan dengan sebaik-baiknya. Karena saya yakin sebaik-baiknya manusia adalah bagaimana dia bisa berfikir. Mencintai identitas kebudayaan adalah buah dari pikiran orang baik. Sementara merubah kebudayaan sepertinya anda sedang mengalami kecelakaan berfikir.

Jurus Tradisional Sangat Ampuh

Ironisasi kebudayaan yang perlahan mulai terkikis. Siapa sangka, sadar atau tidak sadar goyang Kaka Enda tidak akan bertahan lama. Sifat natural tarian tradisional Maluku sudah sangat mengakar pada sel-sel tubuh orang Maluku sejak kecil.

Iyadong, bandingkan dengan goyang Asters, Tobelo, Poco-poco, Pela Tumpa Darah dan seterusnya. bagaimana kabarnya sekarang? Sudah jarang tuh dipakai sebagai goyangan yang viral hingga detik ini.

Eksistensi kebudayaan tari Cakalele masih menguat dipermukaan. Bandingkan lagi dengan Papua pada Minggu kemarin di Cafreeday Jakarta, Orang Papua mampu membuat ribuan orang di Cafreeday agar terlibat menari Sajojo bersama.

Karena apa, hanya dengan kebudayaan hubungan persuasif itu dapat terlaksana tanpa memandang ras, suku, dan agama. Sementara pejabat kota Ambon menggap goyang Kaka Enda sebagai ruang membangun harmonisasi. Preet!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline