Di Balik Banyaknya Dokumen Literatur dan Tradisi Keilmuan Dunia
Di banyak negara maju, sebuah kebijakan publik tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia adalah puncak dari sebuah gunung epistemik---tumpukan laporan riset, hasil konsultasi, policy brief, white paper, dan perdebatan panjang antara para ilmuwan, teknokrat, serta politisi. Di Amerika Serikat, setiap rancangan undang-undang atau kebijakan strategis umumnya disertai dokumen analisis kebijakan setebal ratusan halaman, yang menjadi fondasi argumen politik dan legitimasi publik. Dalam tradisi inilah Harold D. Lasswell menulis kalimat yang monumental: "Policy-making is knowledge in action." Kebijakan, kata Lasswell, bukan sekadar keputusan administratif, melainkan pengetahuan yang dioperasionalkan dalam arena kekuasaan.
Fenomena ini menjelaskan mengapa tradisi kebijakan berbasis pengetahuan di Barat melahirkan peradaban politik yang stabil, inovatif, dan berdaya tahan. Lembaga seperti Brookings Institution, RAND Corporation, dan Heritage Foundation berdiri bukan sekadar untuk menulis laporan riset, tetapi untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan menjadi bagian dari mesin pengambilan keputusan. Setiap lembaga ini bekerja dalam apa yang disebut sebagai "knowledge--policy nexus" --- titik temu antara dunia ide dan dunia kekuasaan. RAND, misalnya, lahir dari kebutuhan strategis militer AS pasca Perang Dunia II, ketika negara menyadari bahwa kemenangan tidak lagi ditentukan oleh jumlah senjata, melainkan oleh kualitas analisis dan prediksi ilmiah. Di sisi lain, Brookings menjadi rujukan utama dalam reformasi fiskal dan sosial sejak era Roosevelt hingga kini, sementara Heritage Foundation menjadi mesin ideologis konservatif Partai Republik.
Ketiga lembaga ini menunjukkan satu hal penting: ilmu menjadi alat survival politik dan peradaban. Kekuasaan yang ingin bertahan dan berkembang membutuhkan legitimasi rasional---dan itu hanya bisa diperoleh melalui pengetahuan yang terinstitusionalisasi. Karena itu, di Barat, riset tidak berdiri di luar kekuasaan, melainkan berinteraksi langsung dengannya. Pemerintah memesan pengetahuan, universitas menjawabnya, dan lembaga riset menjadi jembatan epistemik di antara keduanya. Hubungan ini menciptakan ekosistem yang dinamis: ketika kekuasaan berubah, paradigma pengetahuan juga ikut bergeser, tetapi fondasi rasionalitasnya tetap dijaga.
Kontras dengan itu, di Indonesia, riset dan kebijakan sering berjalan pada rel yang berbeda. Penelitian lebih sering diperlakukan sebagai proyek, bukan instrumen kebijakan. Dokumen hasil kajian sering berakhir sebagai laporan akhir kegiatan---tersusun rapi di rak lembaga, namun tak pernah menjadi dasar keputusan publik. Bukan karena para penelitinya kurang berkualitas, melainkan karena sistem politik kita belum memiliki demand epistemik yang cukup kuat. Kekuasaan tidak meminta pengetahuan, dan pengetahuan tidak diarahkan untuk melayani kekuasaan secara etis.
Kondisi ini membuat Indonesia terjebak dalam paradigma administratif, bukan epistemik. Dokumen riset menjadi output kegiatan, bukan input keputusan. Laporan dihasilkan karena kewajiban anggaran, bukan kebutuhan kebijakan. Lembaga riset negara, universitas, bahkan think tank swasta masih berdiri di luar ruang pengambilan keputusan strategis. Akibatnya, banyak kebijakan kehilangan dasar analitik dan rasionalitas jangka panjang. Ketika kebijakan berganti arah setiap pergantian pejabat, kita tidak sedang melangkah di atas fondasi ilmu, melainkan di atas politik pragmatis yang berubah sesuai selera kekuasaan sesaat.
Dalam konteks globalisasi kebijakan, posisi Indonesia menjadi paradoks. Di satu sisi, kita hidup di era policy convergence --- di mana negara-negara belajar dari praktik terbaik antarnegara, saling mengadopsi kebijakan berbasis data dan bukti (evidence-based policy). Namun di sisi lain, banyak kebijakan nasional kita masih bergantung pada "dokumen administratif" ketimbang "dokumen ilmiah". Padahal, di negara-negara seperti Inggris dan Jerman, setiap keputusan pemerintah wajib melewati regulatory impact assessment (RIA) yang didasarkan pada kajian akademik. Di Amerika Serikat, setiap proposal kebijakan disertai policy memorandum yang menimbang dimensi sosial, ekonomi, dan hukum. Proses seperti ini menjadikan kebijakan bukan sekadar keputusan politik, melainkan hasil dialog antara kekuasaan dan pengetahuan.
Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang reformasi politik epistemik di era Prabowo, kita sebenarnya sedang berbicara tentang pergeseran paradigma kekuasaan itu sendiri: dari kekuasaan yang administratif menuju kekuasaan yang berbasis rasionalitas ilmiah. Pemerintahan Prabowo membawa potensi untuk mengembalikan posisi ilmu ke dalam jantung negara. Indikasi awalnya terlihat dari penguatan unit analisis strategis, pembentukan dewan ekonomi nasional, serta langkah awal membangun policy intelligence unit di berbagai kementerian. Namun langkah ini harus dilanjutkan dengan membangun permintaan epistemik yang sistemik, agar riset tidak lagi berhenti di meja laporan, melainkan menjadi alat navigasi bagi arah kebijakan nasional.
Inilah perbedaan fundamental antara "negara pembuat dokumen" dan "negara pembuat peradaban". Di negara pembuat dokumen, laporan adalah hasil akhir. Di negara pembuat peradaban, laporan adalah awal dari tindakan politik berbasis ilmu. Jika Prabowo ingin membawa Indonesia menuju revolusi kebijakan nasional, maka yang perlu dibangun bukan hanya infrastruktur fisik atau ekonomi, tetapi juga infrastruktur epistemik---ekosistem yang membuat setiap kebijakan lahir dari pengetahuan, bukan sekadar prosedur.
Akar Epistemik Dari Dunia Islam ke Pencerahan Eropa