Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid Azar

TERVERIFIKASI

Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Rebranding Makanan Lokal, Gaya Kekinian

Diperbarui: 7 Oktober 2025   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahu Tek, Khas Jawa Timur, Makanan Lokal ( Foto : Kompas.com)

Nasi Jagung di Era Rp15 Ribu

Program makan bergizi gratis selalu terdengar mulia di podium. Namun ketika masuk ke dapur, tiba-tiba angkanya jadi pelit. Bayangkan: Rp15 ribuan minus operasional. Artinya, sebelum nasi sampai ke piring anak sekolah, sebagian dana sudah "tersedot" untuk bensin, plastik kemasan, sampai markup sana-sini. Sisa uang itulah yang harus berubah jadi paket makan bergizi. Hasilnya? Bukan rendang, bukan ayam bakar, tapi nasi jagung dengan ikan asin tipis-tipis.

Rujak Cingur Butuh Filter Instagram

Generasi lima puluhan bisa bahagia dengan rujak cingur: pedas, asam, gurih, semua jadi satu. Tapi generasi now? Mereka butuh alasan tambahan untuk membuka mulut. Kalau tidak bisa difoto dengan estetik, makanan seenak apa pun tetap kalah pamor dengan minuman boba. Solusinya? Rebranding. Rujak cingur jangan lagi dipanggil rujak cingur, tapi "Exotic East Java Salad with Fermented Shrimp Paste". Baru deh layak masuk story IG.

Gethuk Singkong Naik Kasta

Gethuk singkong sejatinya kudapan rakyat. Tapi di tangan kreatif, ia bisa berubah jadi "Cassava Brownies Fusion". Bedanya hanya di plating: piring putih polos, taburan gula halus, mungkin tambahan topping cokelat. Harganya langsung melompat. Padahal bahannya sama: singkong rebus dan sedikit gula. Ironis, makanan yang tadinya dianggap kampungan harus dicat ulang agar diterima anak kekinian.

Papeda Jadi Smoothie, Tahu Tek Jadi Vegan Street Food

Begitu pula dengan makanan lain: papeda bisa dijual ulang sebagai "Sago Smoothie Bowl", lengkap dengan granola impor. Tahu tek dikemas ulang jadi "Vegan Street Food with Peanut Dressing". Dan nasi jagung diberi label "Organic Corn Rice Bowl, High Fiber, Low GI". Begitu selesai di-branding, anak muda rela antre. Bukan karena lapar, tapi karena ingin update story dengan caption, "Healthy lifestyle, support local food ."

Antara Kenyang dan Konten

Masalah kita sederhana: program makan ini bertujuan memberi gizi, tapi penerimanya sering lebih butuh gengsi. Anak generasi now kadang kenyang bukan karena karbohidrat, tapi karena likes di Instagram. Enak dimakan nomor dua, nyaman difoto nomor satu. Itulah hukum besi era digital.

Makanan lokal seharusnya tidak perlu dirias habis-habisan. Ia sudah cukup bergizi dan membanggakan. Tapi karena anggaran hanya Rp15 ribuan minus operasional, maka yang sampai ke piring bukanlah warisan kuliner, melainkan versi minimalis yang rawan jadi bahan olok-olok. Satirnya, mungkin suatu hari nanti gethuk harus punya akun IG sendiri, papeda butuh endorsement, dan nasi jagung harus bisa viral di TikTok --- kalau tidak, anak-anak akan lebih kenyang dengan validasi sosial daripada isi piring mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline