Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Kaum Muda dan Mission Imposible

Diperbarui: 5 Desember 2021   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis Buku

"Bangunlah, bangkitlah, kesaksian harus diberikan, supaya kebenaran terjaga", demikian petikan sajak si Burung Merak WS Rendra, yang menunjukkan tentang suatu ajakan kepada segenap elemen bangsa agar tetap  menyalakan api atau semangat perjuangan dimana dan dalam keadaan apapun saja.

Dalam sajak itu, kita memang diajak supaya terus berjuang, tidak boleh mengenal kata menyerah, harus ditegakkan dan dikembangkan sikap dan perilaku militant supaya bangunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini tetap terjaga (terselamatkan) dari potensi berbagai penyakit yang bermaksud mendestruksikannya.

Perjalanan hidup masyarakat dan bangsa ini memang harus butuh dikawal dari kemungkinan terjerumus dalam kematian atau minimal stagnasi di berbagai bidangnya. Apalagi,  kepada segenap komponen bangsa inilah, para pendiri bangsa masyarakat dan bangsa ini meraih era keemasan (golden era).

Tugas besar mengubah wajah bangsa mencapai tataran golden era tidaklah berada di tangan satu dua orang dari golongan tertentu, bukan juga pada satu partai politik, dan komunitas elite saja, tetapi di tangan semua subyek bangsa. Kesemua elemen bangsa mempunyai tanggungjawab untuk mewujudkannya. Masalahnya, benarkah semua elemen bangsa ini berkeinginan kuat meraih golden era?

Salah satu komponen bangsa strategis yang wajib selalu diingatkan adalah kaum muda, khususnya mahasiswa, karena di dalam dirinya ada waktu "sangat" luang untuk rajin mengampanyekan kebenaran, punya ketajaman membaca dan melakukan analisis yang bisa difungsikan menciptakan akselerasi dan progresifitas, atau tersimpan kekuatan untuk melakukan perubahan besar di saat komponen bangsa lain sedang tidak berdaya atau mengidap stagnasi berijtihad-nya.

Anak muda bernama mahasiswa itu telah menunjukkan dan menyejarahkan perubahan yang terbilang "radikal" lewat peristiwa yang terukir emas sebagai babakan baru kehidupan berbangsa yang berwujud era reformasi.

Peristiwa perubahan radikal yang diaktori mahasiswa itu layak distigma dengan istilah yang yang disebut oleh Nurcholis Majid dengan "kemerdekaan kedua".  Perstiwa itu membuktikan, bahwa di tengah multikulturalisme bangsa pun, jika mahasiswa bangkit kesadarannya, sedang menyala idealismenya, dan jiwa kepejuangannya berkobar, maka  apapun bisa terjadi. Apa yang dianggap sebagai misi yang tidak mungkin (mission imposible) dalam bangunan ketatanegaraan Indonesia, bisa  diperbarui berkat gerakan yang ditunjjukkan anak-anak muda bangsa ini.

Ketika tentara, politisi, ulama, dan kekuatan di luar mahasiswa gagal merebut kemerdekaan dari hegemoni rezim sang otoritarian Orde Baru, maka  kaum muda mahasiswa bisa membuat keajaiban sejarah: merotasi perjalanan negeri ini ke era  lain. Keberhasilan ini, menjadi ekspektasi besar bagi rakyat untuk menyaksikan dan merasakan terbentuknya Indonesia yang jaya dalam keadaban dan kemakmurannya.

Sayangnya, pasca "kemerdekaan kedua" berhasil direbut, ada sebagian pribadi-pribadi mahasiswa yang  terjebak dalam euforia yang diproduknya sendiri. Dalam ranah politik misalnya tidak sedikit diantara mereka yang masuk dalam jaringan-jaringan yang bercorak eksklusif, yang merangsang dan menawarkan kemapanan politik pragmatisme dan terkadang permisfisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline